Mohon tunggu...
Imroatus Sholihah
Imroatus Sholihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah

Mahasiswa Program Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Syarif Hidayatullah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Empati dan Emotional Intelligence: Kunci Pendidikan Berkelanjutan di Abad 21

16 November 2024   18:30 Diperbarui: 16 November 2024   18:43 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di beberapa negara berkembang maupun yang sudah mengalami stabilitas politik dan agama, pendidikan menjadi bagian penting bagi masyarakat. Dalam abad ke-21 ini terjadi perubahan besar mengenai konsepsi pendidikan dan pengajaran. Perubahan tersebut membawa perubahan pula dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) di sekolah. Dari metode lama dimana guru menjadi satu-satunya sumber dalam memperoleh ilmu pengetahuan, kini berubah menjadi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan anak didik secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong anak didik untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Dengan adanya perubahan tersebut, maka pendidikan diharapkan dapat memberi kesempatan kepada anak didik untuk belajar secara perorangan (Individually learning), dan memberi motivasi berupa penjelasan tentang tujuan dari arah kegiatan belajar yang merupakan kebutuhan pokok anak didik.

Pada umumnya, pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang terakumulasi dalam kebudayaan masyarakat. Istilah pendidikan atau paedagogie kemudian berkembang menjadi suatu bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar anak didik menjadi pribadi yang dewasa. Dewasa di sini adalah anak didik mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogie dan sosiologis.

Pendidikan menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip oleh Hasbullah dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Pendidikan ialah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Adapun fungsi pendidikan nasional sebagaimana tertulis dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 adalah:

Fungsi pendidikan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melalui peningkatan mutu pendidikan. Berangkat dari pemikiran itu, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui lembaga UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) mencanangkan empat pilar pendidikan baik untuk masa sekarang maupun masa depan, yakni: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to be, dan (4) Learning to live together. Keempat pilar pendidikan tersebut menggabungkan tujuan-tujuan IQ (Intellectual Quotient), EQ (Emotional Quotient), dan SQ (Spiritual Quotient). Oleh sebab itu, demi terwujudnya aktivitas belajar yang efektif, maka pendidikan hendaknya tidak hanya menekankan pada intelektual saja, namun juga harus memperhatikan aspek psikologis, artinya pendidikan itu berorientasi kepada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yang berkembang.

Dewasa ini, banyak dijumpai peserta didik yang mempunyai kecerdasan intelektual dengan indeks tinggi, sehingga menjadikannya begitu pintar dan cemerlang dalam prestasi akademiknya di sekolah. Namun, peserta didik masih belum mampu memahami perasaan orang lain dalam pergaulan sosialnya. Ada beberapa pandangan yang menganggap bahwa IQ (Intellectual Quotient) merupakan fakta genetik yang tidak dapat diubah oleh pengalaman hidup, dan bahwa takdir seseorang ditetapkan oleh faktor bawaan ini. Pandangan tersebut mengabaikan masalah yang lebih menantang: Apa yang bisa dilakukan untuk menolong generasi selanjutnya agar memiliki kehidupan yang lebih baik? Faktor manakah yang lebih berperan, misalnya kapan orang yang mempunyai keterampilan empati rendah akan gagal dalam hubungan sosial dan sebaliknya?

Pada suatu seminar tentang Strategies to become more Emotional Intelligence yang diadakan oleh WOBI (World of Business Ideas) tanggal 20 Nopember 2017 dan BBVA Aprendemos Juntos dengan tema The Benefits of Emotional Intelligence for our Children tanggal 17 Nopember 2018, Daniel Goleman mengatakan bahwa perbedaan kesuksesan diantara tingkat IQ (Intellectual Quotient) tinggi, rata-rata dan rendah seringkali terletak pada kemampuan-kemampuan yang disebut dengan empati yang merupakan salah satu elemen dari emotional intelligence (kecerdasan emosional). Keterampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak untuk memberi mereka peluang yang lebih baik dalam memanfaatkan potensi intelektual dan sosial apapun, dan barangkali diberikan oleh genetik kepada mereka.

Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman dalam buku Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ? merupakan pengembangan dan melengkapi teori Gardner (multiple intelligences). Goleman membuat penekanan baru pada kecerdasan interpersonal atau antarpribadi. Menurutnya bahwa pada kecerdasan ganda, Gardner lebih menekankan pada aspek kognisi dan pemahaman, sedangkan aspek emosi atau perasaan kurang mendapatkan penekanan. Menurut Goleman, kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat keinginan. Faktor emosi ini sangatlah penting dan dapat memberikan suatu warna yang kaya dalam kecerdasan antar pribadi.

Ada lima wilayah yang menyangkut kecerdasan emosional, yakni pertama, kemampuan mengenali emosi diri yang menjadi dasar atau fundamental dari kecerdasan emosional. Kedua, kemampuan mengelola emosi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Ketiga, kemampuan memotivasi diri yang berupa dukungan kepada dirinya sendiri untuk melakukan suatu hal yang baik. Harapan dan optimisme menjadi unsur yang terkandung dalam motivasi. Keempat, kemampuan mengenali emosi orang lain, kemampuan ini dimiliki oleh orang yang mampu menangkap pesan non-verbal dari orang lain. Kelima, kemampuan membina hubungan yang berguna untuk mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang menjadi luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun