Mohon tunggu...
Pendidikan

Ayah, Jangan Renggut Cita-cita dan Kebebasanku

7 November 2018   22:14 Diperbarui: 7 November 2018   22:23 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
twitter.com/snavolmasn

Anak: Ayah, cukup au tertekan sedang sikap ayah seperti ini
Ayah: Kamu tidak mengerti perasaan orang tua, sudah kamu nurut saja
Anak: Tapi aku sudah besar ayah, aku bisa memutuskan keputusan untuk diriku sendiri
Ayah: Sudah pokoknya kamu harus nurut apa kata ayah. pertengkaran hebat antara ayah dan anak yang tak sengaja saya dengar sari bilik rumah. Sang anak merupakan siswi kas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di daerah Kabupaten Bojonegoro yang tidak lain dan tidak bukan adalah sepupu saya sendiri. Dia dilahirkan untuk di didik menjadi anak yang bisa mendapatkan juara di sekolahnya. Dia di didik agar menjadi siswi yang mempunyai segudang prestasi.

Di akhir pembelajaran kelas 3 SMA tentu ada berbagai pendaftaran perkuliahan. Salah satunya SNMPTN. Maksud hati memeluk gunung tapi apalah daya tangan tak sampai. Begitulah pepatah yang sesuai untuk sang anak. Ingin sang anak mendaftar pada jurusan sastra agar menjadi seorang penulis yang sukses dan mampu menjadi kebanggaan keluarga, tapi sang ayah menghendaki dia untuk mendaftar pada jurusan kedokteran agar menjadi seorang dokter yang bisa diandalkan dan terjamin kehidupannya.

Waktu berjalan, sang anak menuruti keinginan sang ayah. Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya pengumuman SNMPTN pun dapat diakses melalui web nya. Dan ternyata hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Sang ayah pun murka, karna teman sang anak yang notabene nya tidak lebih pintar dari  anaknya dapat di terima pada jalur SNMPTN. 

Akhirnya sang anak semakin tertekan bahkan bisa dibilang gejala depresi. Dan pada saat tersebut sang anak berusaha kabur dari rumah dan menemui saya yang disini saya merupakan sepupu terdekatnya. Dia hanya menangis kepada saya tanpa menceritakan apapun yang dialaminya. 

Akhirnya saya mengajak dia ke komunitas teman saya, yang kebetulan dia mempunyai komunitas "rumah cinta". Disana dia (sang anak) dapat bertemu dengan orang-orang yang sama-sama mempunyai masalah. Akhirnya dia merasa nyaman untuk bercerita dan menangis sejadi-jadinya.

Dari proses ia menangis, lalu bercerita, lalu menangis lagi, kita dapat tau apa masalah dia. Lalu saya dan teman saya memutuskan untuk mendatangi sang ayah yang tidak lain merupakan om saya sendiri. Pada saat itu kami mengobrol tentang keadaan sang anak yang mulai stress dan hampir depresi. Awalnya sang ayah ngotot dan menyatakan bahwa beliau lah yang paling mengerti seluruh tentang anaknya. Namun setelah kami perlihatkan video anaknya yang sedang menangis dan bercerita, sang ayah perlahan berfikir dan merenung atas kesalahannya.

Setelah satu hari kami mengobrol santai dengan sang ayah, sang anak bercerita kepada saya bahwa sang ayah mengizinkannya untuk mendaftarkan diri di jurusan sastra.

Nah, dari kisah ini dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya orangtua tidak boleh egois terhadap anak dengan melimpahkan cita-cita mereka yang tak kesaimpaian kepada anak-anak mereka. Karena sang anak pun memiliki hak untuk memilih dan memutuskan keputusan untuk diri mereka sendiri. Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran bahwa tidak baik juga terlalu menyetir anak untuk selalu mendapat juara kelas tanpa memperhatikan apa keinginan dari anak-anak kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun