Ahok dan Deparpolisasi Phobia
Oleh: Imran Thahir
Tak sedikit orang terhenyak, setidaknya oleh deretan politisi papan atas, tersentak oleh diskursus deparpolisasi. Mereka bak ada di gerbang kiamat kecil, gelisah, galau dan reaktif. Isu ini agak sedikit mengguncang ranah politik. Sekian elit  politik tampaknya tidak happy dengan yang satu ini.
Lingkaran elit politik cukup tersentil oleh gejala deparpolisasi. Meruak belakangan ini, dipicu polah tingkah Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang memunggungi kehendak dekapan hangat parpol untuk mengusungnya di pemilukada DKI 2017.
Awalnya, ia dingin merespons deklarasi dukungan partai Nasdem maupun Hanura. Berikutnya, giliran PDIP ditampiknya. Simpatisan Ahok bersorak ria tampaknya, ia lebih memilih jalur independen bergandengan temanahok--relawan pendukung utamanya.
Manuver politik Ahok rupanya  "ngeri-ngeri sedap", nambahin bumbu politik di menu percaturan politik Jakarta dan nasional. Ahok tampil dengan cita rasa lain daripada yang lain, ia justeru pasang harga alias jual mahal dihadapan parpol.
Padahal umumnya, peminat calon kepala daerah hanya akan menempuh altrnatif jalur independen jika mereka tak dihitung partai politik. Apatah lagi, kesempatan di jalur independen ini rumit dan melelahkan untuk dilalui menjadi calon kepala daerah. Dan lagi, sangat sulit menemukan pemenang pilkada dari jalur ini.
Akan tetapi, Ahok masih waras dan berakal sehat memilih jalur independen ini. Ada aroma yang cukup kental untuk membaca gerakan politiknya, ia tak mau didikte dan dikekang oleh parpol.
Terutama oleh PDIP, terkenal sangat ketat membebani target politik untuk kepala daerah usungannya. Ahok juga berani dan malah sangat percaya diri, sebab ia punya pelindung di puncak piramida kekuasaan yakni Jokowi. Signal-signal politik selama ini mengesankan, dia adalah sosok yang sangat dekat dengan orang nomer satu di Indonesia ini.
Kata Prof. Yusril, Ahok adalah orang sakti mandraguna. Daya magisnya kuat, terutama di media sosial dan media mainstream. Jadilah ia bak sosok yang sulit digoyahkan citra medianya.
Di media-media itu, ia terlanjur jadi primadona. Apa pun ditempuhnya sebagai gubernur DKI Jakarta selama ini, marah di depan umum, bahkan perintah penggusuran, hanya selalu dilihat sisi positipnya melulu. Ujung-ujungnya, hanya puja puji buatnya. Ia tidak sekedar orang sakti, Ahok banyak disambut bak orang suci.
Bagi pendukung setia Ahok, performa politik ini makin menggairahkan dan nafsu politik mereka kian kokoh. Teman Ahok, relawannya, terang-terangan menabuh genderang perang versus si "banteng iblis". Eh rupanya, peluru politik mereka langsung kena ke jantung kekuasaan. Elit PDIP murka ditantang oleh anak bawang yang masih bau kencur untuk urusan tetek bengek kekuasaan. Sang jawara pastilah tidak senang.
Ibarat kata, Ahok bisa dilihat bagai "anak macan". Kecil-kecilnya, manis, lucu dan menggemaskan. Tapi kini, setelah agak dewasa, taring dan cakarnya serta aumannya makin menakutkan. Induk semangnya pun sdh mulai tahu diri. Anak macan itu bukan yang dulu lagi. Sadar sesadar sadarnya, rupanya ada ancaman serius di rumah sendiri.
Episode pemilukada DKI masih berdurasi panjang. Pemunggungan dan ditampiknya parpol bisa saja hanya sementara saja, dan bukanlah gejala deparpolisasi. Isu ini tampaknya hanya sekedar menggelitik saja, mencolek siapa saja yang memerhati politik dan demokrasi.
Ketakutan atas peminggiran parpol tidak cukup beralasan hanya karena parpol tertentu ditampik oleh seorang bakal calon gubernur. Bisajadi, perihal tersebut justeru semakin memicu kinerja partai politik sebagai pilar demokrasi. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H