[caption caption="dirjen perhud sindonews.net"][/caption]
Di penghujung tahun 2015 ini dunia media dihiasi dengan berita mundurnya beberapa pejabat tinggi negara. Seiring dengan mundurnya para pejabat tersebut ada yang senyap ada pula yang hiruk pikuk pemberitaan terutama bila yang mundur adalah pemegang jabatan tinggi di bidang politik. Yang pertama adalah mundurnya Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito. Alasan mundur adalah karena perolehan pajak tidak memenuhi target yang dipatok sebesar IDR 1.294 triliun untuk tahun 2015 ini. Kemunduran pemegang amanah pimpinan tertinggi Direktorat Jenderal Pajak ini terbilang senyap lantaran tidak banyak media yang memberitakan, beda dengan kemunduran Ketua parlemen negeri ini yaitu Ketua DPR-RI Setya Novanto yang heboh berhari-hari lantaran mundurnya bukan karena sukarela tetapi dipaksa mundur yang didahului dengan sidang Mahkamah Kehormatan Dewan yang mirip pertunjukan lawak dan menggelikan. Dipaksa artinya bukan kemauan sendiri tetapi ada orang lain yang menginginkan dengan keharusan yang bersangkutan keluar dari tempatnya karena mundurnya tidak dengan ikhlas dan sukarela.
Mundur di sini bukan berarti berjalan mundur tetapi tidak sanggup melanjutkan pekerjaannya atau menyerah yang sering diistilahkan lempar handuk. Cara berbeda diperlihatkan oleh Dirjen Pehubungan Darat Djoko Sasono yaitu lapornya kepada media atas niatnya untuk berhenti sebelum lapor kepada atasannya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Entah apa maksudnya lapor ke media yang terkesan mengabaikan etika hierarki birokrasi, dan menyamakan Kementerian Perhubungan seperti warung kopi saja tanpa menjaga wibawa Kementerian yang menaunginya. Lapor ke media sambil mengatakan bahwa itu sebagai bentuk tanggung jawabnya selaku Dirjen Perhubungan Darat karena imbas macetnya jalan tol dalam kota dan tol Cikampek. Kemudian timbul pertanyaan, di mana letak tanggung jawabnya keluar dari arena di kala kondisi lalu lintas masih dalam kedaan macet cet yang terkesan lari dari tanggung jawab itu.
Seharusnya menurut tatakrama umum yang berlaku di instansi mana saja, bila pejabat mengundurkan diri seperti ini didahului membuat permohonan tertulis yang disertai dengan berita acara penyerahan baik tanggung jawab yang dibebankan kepadanya maupun materi pendukungnya kepada atasan langsung yang dalam hal ini Menteri Perhubungan dan menunggu jawaban dari atasannya, diijinkan apa tidak mengundurkan diri. Itupun harus menunggu lalu lintas normal dulu atau pada saat masa liburan Natal dan Tahun Baru usai baru mengajukan permohonan pengunduran diri. Masa sih kalah dengan pegawai rendahan tingkat Kecamatan, apabila mengundurkan diri harus membuat permohonan plus membuat berita acara penyerahan tanggung jawab termasuk berita acara penyerahan kendaraan dinas dan rumah dinas bila ada.
Kalau cara-cara Pak Dirjen yang mundur secara sepihak seolah tidak menghargai atasannya sama saja dengan cara-cara preman yang tidak taat aturan birokrasi yang berlaku. Sebab waktu pengangkatan beliau sebagai Dirjen tidak diangkat secara lisan begitu saja tetapi pakai acara pelantikan dengan mengucap sumpah dan janji di depan pejabat yang yang lebih tinggi dan disaksikan oleh undangan, apalagi ini lebih menghargai media daripada atasannya langsung. Apakah mental pejabat sekarang sudah berubah, sesuka hatinya meninggalkan etika umum tanpa rasa bersalah. Tak sedikit media yang mengapresiasi kemunduran sepihak Pak Dirjen ini tanpa mau melihat proses dan legal standingnya, yang penting apresiasi saja karena pejabat mundur di negeri ini memang masih terbilang langka, selain dulu pada masa Orde Baru ada pejabat tinggi negara yang mundur yaitu Wapangab/Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Jenderal Soemitro.
Yang masih menjunjung tinggi hierarki birokrasi di negeri ini hanya instansi di lingkungan TNI/Polri yang memang memegang teguh disiplin di semua jajarannya, dan tak ada pengunduran diri secara sepihak seperti itu. Bila ada pengunduran diri secara liar seperti yang diperlihatkan Pak Dirjen, di instansi TNI/Polri dianggap sebagai disersi, bisa dikenakan sanksi disiplin yang bisa berakibat hukuman kurungan kemudian dipecat dengan tidak hormat di depan upacara pelepasan atribut.
[caption caption="liputan6news.com"]
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H