Tamasya kita kenal sebagai aktivitas jalan-jalan untuk bersenang-senang menikmati pemandangan atau atraksi wisata. Tamasya itu padanan katanya dalam bahasa Inggris pleasure atau sesuatu yang menyenangkan yang sering diplesetkan menjadi plesir dalam bahasa Indonesia. Saya malas membuka kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) tapi kira-kira begitulah pengertiannya.
Makanya ketika sekelompok masyarakat menyatakan akan melakukan akitivitas Tamasya Al Maidah saya jadi bertanya-tanya, ini tamasya jenis apa? Apalagi waktu yang mereka pilih tanggal 19 April 2017, atau bertepatan dengan hari pencoblosan Pilkada DKI, dengan obyek tamasyanya TPS-TPS yang ada di Jakarta.
Sejak kapan Pilkada jadi momen tamasya? Orang merubung di TPS untuk menunggu giliran mencoblos atau sekedar menonton para kerabat dan warga se-RT atau se-RW melaksanakan hak pilihnya tentu tidak mengherankan, tapi kalau sekelompok besar orang mendatangi TPS-TPS di mana status mereka bukan warga yang tercatat di DPT setempat—bahkan mungkin dari luar kota--dengan atribut dan kostum tertentu serta mengaku tergabung dalam gelombang massa yang lebih besar di bawah ‘bendera’ Tamasya Al Maidah ini baru janggal dan baru sekali ini terjadi meski Pilkada telah berkali-kali dilakukan di berbagai daerah di Indonesia.
Fadli Zon tak bisa bersikukuh mengatakan bahwa  Gerindra memang akan mengirim massa untuk mengawal proses pencoblosan di TPS—tergabung atau tidak dalam Tamasya Al Maidah--dengan dalih partai politik lain juga melakukannya dan tak ada UU yang melarang warga datang ke Jakarta, karena pertama yang disebut Tamasya Al Maidah ini sungguh aneh dan kedua, sungguh kurangajar dia mengira di TPS akan terjadi kecurangan di mana semua saksi berasal dari parpol-parpol pendukung, sehingga perlu diawasi dengan ketat dengan mengerahkan massa dari partai atau relawan.
Di mata saya Tamasya Al Maidah ini tak ubahnya aksi-aksi masif lainnya yang pernah dilakukan kelompok yang anti gubernur non Muslim dan anti Cina. Aksi mereka sebelumnya dikenal dengan nama 411, 212, dan 313 yang kalau tak ditangani dengan baik oleh POLRI dan TNI bisa menjungkalkan pemerintahan yang sah di republik ini. Berbungkuskan agama dan melibatkan banyak warga non DKI mereka berencana menghilangkan peluang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk bertarung sebagai kandidat Gubernur DKI.
Karena rencana-rencana mereka sebelumnya tak juga menunjukkan hasil sebagaimana mereka inginkan, seperti memaksa pengadilan memenjarakan Ahok, aksi-aksi provokatif seperti melarang menyolatkan jenazah umat Islam pendukung Ahok atau melarang mereka melakukan ibadah di masjid, menghadang Ahok dan Djarot berkampanye dan banyak lagi aksi konyol yang tak mengundang simpati, mereka kini berencana melancarkan aksi pamungkas, yakni mengintimidasi warga yang akan memberikan hak suara mereka di TPS-TPS.
Saya yakin kalau diizinkan, TPS-TPS yang dijadikan obyek tamasya tersebut pastilah TPS-TPS di mana Ahok-Djarot banyak meraih kemenangan pada Putaran Pertama. Mereka akan merubung TPS-TPS tersebut dan mengintimidasi warga dengan segala cara agar tak memilih Ahok-Djarot, atau bahkan membuat situasi yang menakutkan sehingga pendukung Ahok-Djarot tidak pergi dan memberikan suaranya di TPS.
Mengapa saya begitu yakin itulah yang akan terjadi? Karena pertama paket tour-nya sangat mencurigakan. Tamasya Al Maidah. Apakah ini semacam aktivitas wisata religi? Kok tidak ada relevansinya sama sekali dengan wisata religi yang selama ini kita kenal? Seperti mengunjungi masjid ternama, makam nabi atau para syech, mendatangi tempat-tempat suci seperti Bukit Thursina, Gua Hiraq, Lourdes, Mekah, Madinah, Yerusalem dan lain-lain?
Kedua, kok diadakannya pas hari pencoblosan? Sejak kapan Pilkada jadi momen wisata dan TPS-TPS menjadi obyek atau atraksi wisata?
Ketiga, mengapa penyelenggara dan peserta tour-nya itu lagi itu lagi? Yakni anggota-anggota ormas Islam tertentu yang berafiliasi dengan ormas Islam intoleran yang terkait dengan aksi-aksi sebelumnya?
Keempat, mengapa mereka begitu ngotot mau melaksanakan Tamasya Al Maidah ini, sampai marah-marah segala di media karena dilarang polisi? Memangnya kalau tak melakukan aktivitas ini kebutuhan psikologis mereka terhalangi? Atau otak mereka bisa meledak? Â