Pembantaian etnis Tionghoa di Batavia tahun 1740 dilakukan Belanda dengan telengas, orang tua, wanita, anak-anak, pasien rumah sakit dibabat semua..
10 Oktober 1740, setelah peristiwa pemberontakan mereda, Gubernur Jendral Valckeneir kembali memerintahkan prajuritnya guna mengumpulkan seluruh warga Tionghoa yang tersisa termasuk yang terbaring di rumah sakit maupun di penjara. Mereka dikumpulkan di depan Stadhuis atau Gedung Balaikota (sekarang Muesum Fatahillah) untuk menjalani eksekusi hukum gantung.
Saat Tragedi Angke benar-benar berakhir tercatat etnis Tionghoa yang selamat sebanyak 3.441 jiwa. Terdiri dari 1.442 pedagang, 935 orang petani, 728 orang pekerja perkebunan, dan 336 orang pekerja kasar (Pembantaian Massal 1740, Tragedi Berdarah Angke, Hembing Wijaya Kusumah 2005).
Tanah Abang yang merupakan salah satu pusat konsentrasi masyarakat Tionghoa di luar tembok kota tidak luput dari pembantaian, penjarahan dan pembakaran. Pasar Tanah Abang porak-poranda, bangunan dan seluruh dagangan di dalamnya luluh-lantak dibakar dan dijarah. Pedagang Tionghoa yang masih hidup bertebaran menyelamatkan diri ke pinggiran Batavia. Sebagian sampai ke Kerajaan Mataram, bergabung dengan Soeltan Agung melawan VOC dan pemerintah kolonial Belanda.
Tak diketahui bagaimana nasib Phoa Beng Gam setelah kerusuhan itu, karena tak ada catatan sejarah tentang tokoh yang berjasa bagi perkembangan pembangunan Kota Batavia ini.
Setelah pembantaian, aktivitas Pasar Tanah Abang terhenti dan baru dibuka lagi tahun 1881. Pasar Tanah Abang yang baru itu dibangun dengan kayu, papan, bilik bambu dan atap genteng. Tercatat ada 220 kios dari kayu dan papan dan 139 kios gedeg. Hari pasarpun ditingkatkan menjadi Rabu dan Sabtu.
Tahun 1913 ada renovasi ringan tapi tak signifikan, Baru tahun 1926 dilakukan perbaikan total yakni dengan membangun 3 los memanjang berupa kios semi permanen dengan fondasi semen, dinding papan dan atap genteng. Lantai los dan kios di pesar itu juga diratakan dan dipercantik dengan adukan semen. Pasar ini dilengkapi kantor pengelola yang mengurus segala sesuatu di pasar tersebut, letaknya di lantai dua bangunan pasar.
Tak ada catatan tentang kereta api, tapi tahun 1910 dikatakan Tanah Abang sudah memiliki stasiun kereta api. Stasiun itu dibangun di sisi timur saluran Banjir Kanal Barat sekarang. Saluran itu sendiri dulunya merupakan hasil karya Phoa Beng Gam yang pada tahun 1965 diperlebar dan diperpanjang sampai ke Pintu Air Karet guna keperluan kelistrikan. Walaupun sudah memiliki kereta api yang waktu itu lebih banyak digunakan untuk angkutan kayu, arang, sayuran dan buah-buahan dari kawasan Serpong dan Bogor, transportasi di Pasar Tanah Abang masih didominasi delman dan gerobak yang ditarik kuda. Pengelola pasar menyediakan tempat parkir delman dan gerobak, sekaligus kolam tempat minum kuda di halaman pasar dan membuka toko dedak untuk makanan kuda di seberang pasar. Tak jauh dari toko dedak itu terdapat gang dan sebuah surga untuk para pemadat, di mana para pecandu mengisap candu atau madat dengan bebasnya. Gang itu disebut Gang Madat, tapi di mana pastinya tak ada yang bisa menunjukkan lagi.
Ketika Jepang masuk Batavia, Pasar Tanah Abang kembali lumpuh dan menjadi sarang gelandangan. Menurut J.J. Rizal, sejarawan Jakarta, tekstil tidak laku karena orang hanya mampu membeli pakaian yang terbuat dari karung goni. Tiarap selama 20 tahun lebih, pasar ini baru menggeliat lagi tahun 1970-an ketika Ali Sadikin jadi Gubernur DKI. Tahun 1975 di Pasar Tanah Abang tercatat ada 4.351 kios dengan 3.061 pedagang.
[caption caption="Trem dan pedati melintas di Tanah Abang, jalan ini kini dikenal dengan nama Jalan K. H. Mas Mansyur"][/caption]
Tahun 1978 dan 1979 Pasar Tanah Abang dilanda kebakaran. Kebakaran 30 Desember 1978menghanguskan Lantai 3 Blok A. sedangkan kebakaran 13 Agustus 1979 menghanguskan Blok B. Tanggal 19 Februari 2003 Pasar Tanah Abang kembali dilalap api. Ini kebakaran terbesar karena menghanguskan 5.700 kios di Blok A, B, C, D dan E dengan total kerugian hampir Rp 3 triliun, berupa bangunan dan jutaan kodi produk tekstil dan garmen dagangan. Api baru bisa dijinakkan sehari kemudian, karena 24 hidran yang ada tak berfungsi sama sekali gara-gara tak pernah dirawat sehingga rusak dimakan karat.
Selanjutnya Pasar Tanah Abang memasuki era baru, era modernisasi.