Lima tahun setelah Pasar Tanah abang dibuka, terjadi pembantaian etnis Tionghoa oleh pemerintah Belanda, karena etnis Tionghoa berani melawan kesewenang-wenangan Belanda melalui program Surat Ijin Tinggal...
25 Juli 1740, penguasa Batavia semakin mempertegas pemberlakuan program ini dengan dikeluarkannya resolusi yang isinya “penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan seluruh warga Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal di wilayah Batavia”.
Resolusi sangat memukul etnis Tionghoa yang dijadikan korban. Di sisi lain pemberlakuan resolusi ini menciptakan peluang korupsi baru bagi kalangan petugas pemerintah.
Sementara bagi pemerintahan Batavia dan kalangan Dewan sendiri, pemberlakuan program ini dianggap sangat baik karena selain dapat menambah penghasilan dari sisi pajak, juga dapat dijadikan alat kontrol bagi semua aktivitas perdagangan etnis Tionghoa. Sebaliknya, bagi etnis Tionghoa pemberlakuan Surat Ijin Tinggal dan berbagai macam pungutan liar ini menyebabkan krisis kepuasan. Tingkat kesejahteraan mereka terus merosot dari hari ke hari, bahkan banyak pedagang Tionghoa yang terpaksa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat kebangkrutan.
Ketidakpuasan-ketidakpuasan inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan etnis Tionghoa terhadap pemerintah Batavia. Tercatat sejak September 1740 berbagai kerusuhan kecil terjadi di luar tembok Batavia. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada 7 Oktober 1740. Saat itu, lebih dari 500 orang Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke dalam tembok Batavia setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara bersamaan.
8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi di semua pintu masuk Benteng Batavia. Ratusan etnis Tionghoa yang berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah pimpinan Van Imhoff.
9 Oktober 1740, dibantu altileri berat pasukan VOC berhasil menguasai keadaan dan menyelamatkan Batavia dari kerusuhan. Pasukan kaveleri VOC kemudian mengejar para pelaku kerusuhan. Seluruh rumah dan pusat perdagangan warga Tionghoa yang berada di sekitar Batavia digeledah dan dibakar, penghuninya yang pria langsung dibunuh, yang wanita diperkosa beramai-ramai lalu dibunuh, harta bendanya dijarah, termasuk rumah Kapiten Tionghoa Nie Hoe Kong yang dianggap sebagai aktor intelektual kerusuhan.
Ribuan warga Tionghoa yang selamat dari kerusuhan diburu dan dibunuh tanpa perduli terlibat atau tidak dalam peristiwa pemberontakan tersebut, termasuk yang sedang dirawat di rumah sakit. Anak-anak, bayi dan orang tua tidak luput dari pembantaian. Banyak yang dibiarkan lari ke arah kali sebelum akhirnya dibantai oleh para prajurit yang telah menunggu kedatangan mereka. Beberapa sumber menyatakan bahwa kali yang menjadi lokasi pembantaian adalah Kali Angke, hingga peristiwa pembantaian ini diabadikan dengan nama Tragedi Angke. Namun ada pula yang berpendapat bahwa pembantaian sebenarnya tidak terjadi di Kali Angke melainkan di Kali Besar, karena letaknya lebih dekat ke Tembok Batavia. Kali Angke hanyalah merupakan titik akhir lokasi penemuan ribuan mayat korban pembantaian yang dihanyutkan air.
Malam tanggal 9 Oktober 1740, prajurit VOC kembali melakukan penyisiran guna mencari sisa-sisa etnis Tionghoa yang bersembunyi di rumah atau bangunan lain di seputar Batavia. Pembantaian kali ini lebih sadis karena melibatkan budak dan warga bumiputera yang sengaja dibakar amarahnya. Bahkan menurut cerita Gubernur Jendral Valckeneir sempat menjanjikan hadiah sebesar 2 dukat per kepala etnis Tionghoa yang berhasil dipancung[caption caption="Sebuah rumah berarsitektur Cina di samping Blok A Tanah Abang, pernah jadi Rumah Makan Padang"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H