Setelah dibuka tahun 1735, Pasar Tanah Abang terus menggeliat meski masih berupa pasar mingguan, yakni hari Sabtu saja...
Pasar Modern yang Tradisional
Pasar Tanah Abang terus berkembang. Begitupun daerah di sekitarnya. Penduduknya bertambah banyak dan aktivitas sosial meningkat. Langgar Al Makmur yang dibangun tahun 1704 di sisi selatan pasar makin ramai, begitu pula Kelenteng Hok Tek Tjengsin atau yang disebut warga Tanah Abang Toapekong Kebon Dalem yang dibangun di sisi utara pasar Tanah Abang sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa yang memang banyak di Tanah Abang.
Namun lima tahun setelah Pasar Tanah Abang berdiri, terjadi pembantaian etnis Tionghoa (Chinezenmoord). Kisah kelam ini berawal dari masalah memanasnya hubungan antara pemerintah VOC dengan imigran Tionghoa yang ada di Jakarta waktu itu. Imigran itu tadinya sengaja didatangkan Belanda dari daratan Tiongkok, karena mereka butuh tenaga untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar yang tidak sudi mereka lakukan.
Kemunduran VOC dalam bidang perdagangan akibat kalah bersaing dengan Maskapai Perdagangan Inggris, The Britisch East India Company yang berpusat di Callcuta, India dalam perebutan hegemoni perdagangan bangsa-bangsa Eropa (1602-1799) menimbulkan tekanan besar terhadap seluruh wilayah jajahan VOC, termasuk Hindia Belanda.
Guna mengatasi hal tersebut Heeren XVII (Kamar dagang VOC) menekan Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia saat itu agar dapat memaksimalkan pendapatan dan aliran dana segar ke kas VOC.
Sementara di sisi lain, besarnya pengeluaran angkatan perang VOC akibat pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan kolonial di Nusantara serta terus meningkatnya jumlah imigran Tionghoa yang berhasil dalam bidang perdagangan di Batavia, yang jika dibiarkan akan menyebabkan ancaman serius bagi kelangsungan dagang VOC di negeri ini, membuat bingung penguasa VOC di Batavia.
Untuk memecahkan masalah tersebut secara bersamaan, Dewan Hindia Belanda dan Gubernur Jendralnya--saat itu dijabat Valckeneir--sepakat melakukan jalan pintas dengan menggalakkan program tanam paksa bagi warga bumiputera. Sementara bagi para etnis keturunan dan para imigran Tionghoa yang terkenal lebih berhasil, upaya-upaya pemerasan terselubung mulai dilakukan. Pemberlakuan program Surat Ijin Tinggal adalah salah satunya.
Seluruh etnis Tionghoa yang ada di dalam tembok maupun di luar tembok Batavia diwajibkan memiliki Surat Ijin Tinggal yang dikeluarkan pemerintah VOC dengan masa berlaku terbatas. Aturan program ini sangat keras. Apabila ditemukan imigran Tionghoa yang tidak memiliki Surat Ijin Tinggal dikenakan hukuman berupa denda atau hukuman penjara. Bahkan yang lebih buruk pengusiran mereka dari seluruh wilayah Hindia Belanda.
Pemerintah VOC beralasan bahwa pemberlakuan program ini adalah agar wilayah Batavia dan sekitarnya bersih dari para pendatang ilegal yang selalu mengganggu ketertiban. Harus diakui bahwa alasan tersebut tidak sepenuhnya salah. Kondisi Batavia yang saat itu dipenuhi para imigran--terutama Tionghoa--menjadi tidak teratur. Tempat perjudian dan hiburan tumbuh bak jamur di musim hujan.
Tercatat sebanyak 7.550 jiwa imigran Tionghoa menetap di Batavia tahun 1719. Angka ini meningkat pesat hingga tahun 1739. Sebanyak 10.574 jiwa imigran Tionghoa ditemukan berada dan tinggal di dalam tembok Batavia dan sekitarnya.[caption caption="Sepasang pengantin Belanda di Tanah Abang, terlihat sngat bahagia di lingkungan yang sejuk dan nyaman"][/caption][caption caption="Dua darisekian banyak pedati yang lalu-lalang di Pasar Tanah Abang saat awal berdirinya"]