Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kenali Museum Prasasti

7 Januari 2016   15:27 Diperbarui: 7 Januari 2016   15:54 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada dua museum di Tanah Abang, satu Museum Tekstil satu lagi Museum Prasasti. Museum Tekstil menyimpan banyak koleksi tekstil Tanah Air, Museum Prasasti hanya mengoleksi batu nisan pejabat-pejabat Belanda dan selebriti zaman bahuela, serta peti mati dua tokoh pendiri negara ini.

Menurut buku Petunjuk Museum Sejarah Jakarta, terbitan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI 2011, Taman Prasasti digolongkan museum terbuka. Berlokasi di Jl. Tanah Abang I Nomor 1 atau di kawasan yang disebut Kebon Jahe Kober Taman Prasasti terbentang seluas 1, 3 hektare. Tadinya luasnya 5,5 hektare sesuai dengan luas tanah yang dihibahkan oleh WY Halventius, putra Gubernur Jenderal Jeremian van Rimadijk (1775-1777) untuk lokasi pemakaman, tapi tahun 1975 sebagian besar lahannya diambil Pemda DKI untuk Kantor Walikota Jakarta Pusat dan sekretariat PRSN (Persatuan Renang Seluruh Indonesia), komplek makam ditutup dan jasad yang ada di dalamnya dipindahkan ke berbagai tempat, seperti komplek pemakaman Menteng Pulo, Tanah Kusir atau diboyong ke negara asal oleh keturunan dan sanak kerabat para mendiang.

Pemakaman yang disebut Kerkhoof Laan ini resmi digunakan 28 September 1795. Area makam yang berada di luar tembok kota Batavia ini dipesiapkan karena kebutuhan mendadak akan lahan makam saat Batavia diserang wabah malaria, kolera, tifus dan disentri yang menyebabkan ratusan orang meninggal dan makam orang Belanda di Gereja De Nieu Hollansce Kerk (kini Museum Wayang) tidak mampu menampung. Jenazah dibawa ke sini dengan perahu atau kuda.

Jalur sungai melalui Kali Krukut yang mengalir sekitar 500 meter di timur makam. Dari Kali Krukut jenazah diangkut dengan kereta kuda mirip kereta kencana yang sampai sekarang masih ada dan menjadi salah satu koleksi museum. Banyaknya kuda yang menarik kereta itu disesuaikan dengan status sosial orang yang meninggal. Makin tinggi status sosialnya makin banyak kuda penarik kereta.

Sebagai tanda bahwa rombongan jenazah telah tiba di pelabuhan makam dan kereta kuda harus dipersiapkan digunakan sebuah lonceng perunggu yang terpasang di tiang besi setinggi 4 meter. Lonceng ini akan dibunyikan begitu rombongan terlihat dan kereta kuda akan menjemput peti jenazah ke pelabuhan kecil tersebut. Kini replika lonceng tersebut ada di atas gerbang masuk.

Sesampainya di gerbang makam yang memiliki arsitektur gaya doria yang ditambahkan tahun 1844, jenazah diberkati dengan ritual keagamaan masing-masing, lalu disemayamkan di dua ruangan, kiri untuk lelaki, kanan untuk wanita. Kini ruangan itu dibatasi pintu teralis dan ditambahi loket penjualan tiket masuk yang sebesar Rp 5.000 per orang, kalau pengunjungnya berjumlah 30 orang berlaku tarif khusus yakni Rp 3.000 per orang. Museum yang dibuka Selasa – sampai Minggu dari pukul 09.00 – 15.00 WIB ini dijadikan museum 9 Juli 1977 dan diresmikan oleh Gubernur Ali Sadikin.

Sebelum masuk komplek makam bisa dilihat terpajang di pagar sekeliling tembok depan sekitar 35 nisan dari batu gunung biru atau batu pantai keras dari India Selatan. Makin tinggi jabatan seseorang, makin bagus kualitas batu yang digunakan. Batu-batu nisan itu ditempelkan ke dinding pagar sehingga menyatu menyerupai diorama tersendiri.

Memasuki bagian dalamnya kita seperti sedang berada di suatu tempat di Eropa, karena arsitektur masing-masing makam yang sangat bergaya Eropa. Di selah kiri atau selatan makam yang terdiri dari 10 blok ini terdapat tugu-tugu kotak seperti menhir dengan lapisan plat marmer berisi data jenazah di dalamnya. Tugu-tugu ini ide Gubernur Ali Sadikin, tapi tak diteruskan karena pihak keluarga pejabat Belanda yang dimakamkan di situ tidak setuju, sehingga pembangunan tugu-tugu tersebut dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Namun sepertinya makam yang kini menjadi Museum Prasasti tersebut sering mengalami penjarahan atau pencurian, terbukti dari banyaknya marmer besar yang dibongkar dari makam dan diganti adukan semen biasa. Sebagian marmer yang tersisa pecah dan retak di mana-mana, seperti bekas pencongkelan paksa yang gagal. Patung-patung malaikat yang dipajang di atas makam juga banyak yang tidak terbuat dari marmer atau perunggu dan tembaga lagi, tapi sudah berganti dengan patung-patung malaikat dan peri buatan pembuat taman yang banyak ditemukan di sut-sudut Jakarta seperti di Jl Asia Afrika, kali Malang dan sebagainya. Patung-patung malaikat dan peri itu kebanyak juga tanpa tangan dan sayap yang lengkap, mungkin karena pembuat replikanya tak bisa menemukan contoh patung aslinya sehingga tak bias menirunya secara utuh.

Adanya indikasi penjarahan tersirat dalam buku Petunjuk Museum Sejarah Jakarta, di situ tertulis, “..tercatat 4.600 nisan, kini 1.242 nisan saja..”

Meskipun tak lagi menyimpan jenazah di dalamnya, Museum Prasasti merupakan situs penting karena di sana dimakamkan beberapa tokoh sejarah dan selebritis zaman dulu, soalnya bukan hanya warga Belanda yang dimakamkan di sini, warga pribumi juga diperbolehkan membeli atau menyewa makan sejak 1799.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun