Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Datuak

7 November 2012   11:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:49 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rombongan itu datang dari kampung. Melihat mereka di teras, kening Burhan langsung mengerinyit. Istrinya malah langsung merengut. Ada apa orang kampung ini datang ramai-ramai? Berapa lama pula mereka akan berada di sini? Jangan harap ada tawaran menginap. Suami istri itu sudah berkata-kata dalam hati. Menerima satu orang saudara dari kampung saja, tak boleh lebih dari tiga hari--kecuali keluarga istrinya, bolehlah seminggu--bagaimana pula dengan tamu yang berjumlah 10 orang ini? Burhan menggerutu dalam hati.

"Begini Uda, ini momennya, ini peluang kita untuk mambangkik batang tarandam," Pendi memulai mukadimah. Memberi tahu maksud kedatangan mereka, setelah dengan berat hati Burhan mempersilakan mereka masuk.

"Batang tarandam apa? Untuk apa mambangkik batang tarandam, kan batangnya sudah busuk," kata Burhan acuh tak acuh.

"Bukan begitu maksudnya Uda, tapi saatnya untuk kembali berjaya, mengangkat martabat kaum kita."
"Hmmm, aku tak melihat hubungannya?"

"Ya, makanya Uda dengarlah dulu," Pendi mengelus janggut jarangnya. Kepalanya mulai gatal. Reputasi Burhan dan istrinya yang selalu berkata tidak bila diminta untuk peduli kampung mengganggunya. Tapi upaya ini harus berhasil...

Maka berceritalah Pendi, ditimpali 9 rekannya yang lain. Di kampung mereka kini banyak partai mencari caleg, calon legislatif. Nah peluang untuk menjadi caleg tersebut sangat terbuka lebar, karena partai-partai politik itu benar-benar sedang butuh. Asal ada modal sedikit, jadi caleg jadi itu paling gampang.

Burhan mulai tertarik. Dia sudah mendengar enaknya jadi anggota dewan. Ke mana-mana dihormati orang, suaranya lantang dan didengarkan semua orang, tak peduli pejabat, penguasa dan pengusaha, semua tak pernah mengabaikan suara anggota dewan, saking takutnya banyak pihak yang menyogok dan menyuap mereka, seperti yang kini terungkap di berbagai media massa, seperti yang tiap hari dibaca dan dipirsa Burhan.

Istrinya juga mulai tertarik dan pasang telinga. Kali ini sudah ada perintah untuk membuatkan minuman. Juli, pembantu mereka tercengang mendengar perintah majikannya yang tak lazim itu, tapi segera dikerjakannya.

"Apa benar peluangnya besar, aku harus keluar duit berapa?" Burhan pura-pura skeptis.
"Jangan tanya duitnya dulu, Uda harus dibikin besar dulu," kata Pendi.
"Dibikin besar? Bagaimana caranya?"
"Nah, kalau itu gampang. Bisa kami urus di kampung."

Kali ini Mirna menyuruh Juli mengeluarkan kue-kue. "Bagaimana kamu ini, sudah tahu ada tamu dari kampung lambat-lambat pula mengeluarkan kue, cepatlah, ambil yang di lemari," katanya memerintah pembantunya, yang makin bingung saja melihat perubahan drastis majikannya.

"Bagaimana caranya Da Pendi? Bagaimana caranya membuat Uda Burhan ini jadi besar? Bukankah selama ini sudah besar?" tanya Juli mendesak Pendi. Tamu-tamu yang lain mulai senyum simpul dan saling pandang satu sama lain. Ini betul-betul perubahan besar, biasanya, jangankan ikut bicara, di kampung pun, kalau pulang, Mirna tak pernah mau menemui mereka. Bagi perempuan itu, orang-orang kampung dan sanak keluarga hanyalah parasit yang mengincar harta mereka, yang kalau dibaik-baiki pasti akan ngelunjak, minjam duit lah, minta dicarikan pekerjaan lah, dan lain-lain, yang selalu membuat Mirna kesal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun