Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Mereka Tak Ingin Jokowi Presiden Lagi?

21 Januari 2019   18:00 Diperbarui: 11 Februari 2019   16:37 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penolakan terhadap Jokowi tetap masif dan sistematis dilakukan, terutama di daerah-daerah yang kurang terpapar akses informasi, seperti pedalaman Riau, Sumbar, Aceh, Sumut, Sumsel dan beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan NTB, di mana hanya masjid yang menjadi sumber informasi utama dan para da'i sebagai sumber informasinya.

Konsistensi ini mungkin terguncang oleh fakta keislaman Prabowo yang amburadul, namun tak berarti padam sama sekali, karena HTI dan PKS gencar menyemburkan pendapat bahwa lebih baik orang yang baru masuk islam tapi mau sungguh-sungguh (sunggguh-sungguh dari mana ya nggak tahu) belajar islam, daripada orang yang menggunakan islam untuk melangggengkan kekuasaan. Jadi mereka minta rakyat tidak usah lagi mempersoalkan kualitas keislaman Prabowo, tapi lebih fokus menumbangkan Jokowi yang --katanya---anti islam dan pro PKI. Mereka keukeuh sekali mempertahankan dan menggembar-gemborkan tuduhan tak berdasar ini.

Di luar keinginan untuk menjadi penguasa menggantikan Jokowi, ada hal lain yang menurut saya sangat menonjol dalam hal gerakan #2019GantiPresiden ini. Hal itu adalah sikap mental yang telah terbangun lama dan diwarisi secara turun-menurun dalam DNA rakyat Indonesia, yaitu feodalisme. Rakyat Indonesia hanya menganggap keluarga kerajaan, keluarga terpandang, para bangsawan, orang kaya, para ksatria elit dan sejenisnyalah yang paling layak jadi pemimpin negara ini, bukan rakyat jelata seperti mereka, seperti Jokowi.

Di mata mereka, para pemuja feodalisme ini, Jokowi seharusnya tahu diri. Tak seharusnya Jokowi berani mencalonkan diri jadi presiden. Sudahlah dengan kesalahan periode 2014-2019, jangan diulang lagi untuk periode 2019-2024. Mereka tak suka Jokowi mengambil peran sebagai keluarga kerajaan, para bangsawan, para ksatria dan orang-orang "mulia" lainnya, Jokowi harus membawakan diri sebagai rakyat jelata yang tahu diri.

Memang jumlah mereka masih kalah dengan rakyat Indonesia yang mulai meninggalkan era feodal, meski bedanya cuma sedikit yakni 5 juta suara. Tapi karena mereka marah Jokowi tak mengindahkan hakekat dirinya alias tak tahu diri pada Pilpres 2014, kini mereka gencar menjegal langkah Jokowi kembali ke istana. Gerakan masif itupun makin menjadi-jadi setelah dikompori secara politis oleh Gerindra, PKS, PAN, Partai Demokrat dan tentu saja HTI dan FPI dengan kepentingannya masing-masing. Tidak heran kalau segala macam cara dihalalkan asal bisa menjegal langkah Jokowi. Mereka lupakan semua nilai-nilai luhur tentang kemanusiaan, agama, moralitas, asal bisa #2019GantiPresiden.

Selain faktor feodalisme, para pemilih dengan sumber informasi primordial ini, yang mereka percayai dan ikuti seperti kuda yang tertutup matanya, juga tak terbiasa dengan perilaku komprehensif dan brainstorming. Mereka tak pernah mau berpikir terbuka, membandingkan satu dengan lainnya dan tak suka pusing dengan beragam informasi. Bagi yang intelektualitasnya tinggi mereka telah menutup mata dan telinga untuk semua informasi yang merugikan capres unggulannya, bagi yang intelektualitasnya pas-pasan semua informasi yang tak bersumber dari tokoh agama atau tokoh masyarakat tak layak dan haram dipedulikan.

Di luar kelompok ini ada lagi kelompok sakit hati karena kehilangan banyak kemudahan di era pemerintahan Jokowi. Mereka yang terbiasa sukses berbisnis dengan pola suap dan sogok untuk memenangkan tender pengadaan dan memenangkan proyek kesal sekali karena hal itu tak lagi mudah dilakukan, bahkan bisa kehilangan uang sia-sia karena goal mereka tak bisa diwujudkan berkat pengawasan yang ketat sekali, sementara uang yang telah diberikan tak bisa diminta kembali. Barisan sakit hati tapi punya banyak uang ini akan menggunakan sumber dayanya menyokong capres baru yang mereka anggap akan lebih gampang dibeli.

Agresifnya KPK melakukan OTT juga menambah kelompok yang tak suka Jokowi. Di era Jokowi tak ada keringanan terhadap pelaku korupsi. KPK tak pandang bulu, tak peduli koruptornya dari partai lawan atau partai pendukung Jokowi, semua yang tertangkap tangan pasti segera diproses dan Jokowi tak mengintervensi sedikitpun. Ini membuat mereka yang bermental koruptif sangat tidak ingin Jokowi menjadi presiden lagi.

Semua kelompok dan golongan masyarakat ini kemudian bersatu dengan tekad menumbangkan satu musuh bersama yaitu Jokowi. Akankah mereka berhasil? Berhasil atau tidak jawabannya akan memberitahu bagaimana nasib bangsa dan negara ini selanjutnya. Akankah tetap feodal dan koruptif atau akan bergerak ke arah modernisasi? Di mana nilai-nilai kemanusiaan akan lebih dihargai, hukum menjadi panglima, dan pemeluk agama saling menghormati satu dengan lainnya. 17 April 2019 akan menjadi hari penentuan.   

   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun