Kampung Pulo sudah rata dengan tanah dan proyek normalisasi Kali Ciliwung telah dimulai. Sebanyak 450 kk dari 520 kk warga Kampung Pulo sudah mengambil kunci rusunawa Jatinegara Barat dan bersiap menghadapi hidup baru. Tak ada lagi yang penting untuk dikomentari sebetulnya, tapi saya masih tergelitik dengan komentar Tommy Soeharto, putera kesayangan mantan Presiden RI kedua, Jenderal Soeharto.
Konon dalam cuitannya di twitter—saya sendiri tidak baca—Tommy katanya menilai aksi relokasi yang dilakukan Ahok di Kampung Pulo sebagai aksi yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Aksi itu dianggap kasar oleh Tommy karena melibatkan lebih dari 2.800 aparat gabungan yang terdiri dari Satpol PP, kepolisian dan TNI. Menurut Tommy harusnya ada cara yang lebih persuasif untuk menangani masalah di bantaran Kali Ciliwung itu.
Sayangnya, seperti juga pihak-pihak yang menentang dan mengritik cara Ahok menangani kantong-kantong pemukiman liar di Jakarta—Tommy juga tak memberi solusi yang cerdas. Pokoknya serang dan hajar Ahok saja, habis perkara. Soal solusinya ya pikirkanlah sendiri, yang Gubernur DKI kan Ahok, dst, dst.
Itu satu respon saya terhadap kritik Tommy. Respon yang kedua, dari mana Tommy bisa dapat kesimpulan bahwa cara-cara Ahok itu kejam dan tak berperikemanusiaan? Kita lihat sendiri dalam siaran langsung pemberitaan di televisi, baik TVOne milik Golkar versi Aburizal Bakrie (berafiliasi dengan Gerindra, PAN, PD, ½ PPP, PBB); MetroTV milik Surya Paloh (Nasdem berafiliasi dengan PDIP, PKB, ½ PPP, Hanura, PKPI); KompasTV simpatisan kuat PDIP; atau MNC Group simpatisan KMP yang kini mencoba mengintai arah angin demi keuntungan sendiri lewat partai baru Perindo, bahwa gabungan aparat sebanyak itu sama sekali tidak melakukan aksi kekerasan di Kampung Pulo. Narasi masing-masing reporter dan presenternya memang beda, tergantung tujuan berita mereka, tapi tayangan langsung yang mereka tayangkan tak bisa berbohong.
Yang terjadi justru sebaliknya, semua televisi dengan kepentingan politik tertentu itu memperlihatkan bagaimana beringasnya warga Kampung Pulo—atau yang mengatasnamakan warga Kampung Pulo—melempari aparat dengan batu dan kayu. Mereka juga membakar sebuah backhoe atau eskavator dengan suka cita. Sedangkan aparat yang banyak itu lebih banyak mengalah dan mundur saat diserang. Ada juga yang membalas melemparkan batu, tapi hanya satu dua. Mereka juga menembakkan gas air mata untuk membubarkan konsentrasi massa, dan water canon yang digunakan tak ubahnya penyiram tanaman di taman-taman kota, karena tak punya daya sembur sekuat pompa pedamam kebakaran yang bisa menerbangkan dan membuat warga berpelantingan seperti daun kering.
Intinya aparat tak membalas keberingasan warga dengan keberingasan serupa. Entah apa yang terjadi kalau ke 2.800 lebih aparat tersebut terpancing untuk membalas dengan beringas pula, bisa dipastikan puluhan atau ratusan warga Kampung Pulo bakal menjalani rawat inap di rumah sakit, tapi faktanya hanya 1satu) korban yang dirawat di RS Hermina, Kampung Melayu! Bukti nyata bahwa aparat tidak melakukan kekerasan yang tak berperikemanusiaan seperti yang biasa mereka lakukan saat melumpuhkan demo mahasiswa.
Bandingkan dengan langkah yang dilakukan ayah Tommy saat menggusur warga dari Kedungombo dulu. Siapa saja yang melawan atau protes desanya ditenggelamkan untuk dijadikan waduk, langsung dijeput malam-malam dan pulang beberapa hari kemudian dengan tubuh remuk. Ribuan lagi diminta pergi dengan ancaman bisa terjadi salah tembak. Begitu juga kejadian lainnya di Sampang, Tanjung Priok, Lampung, dan banyak lagi, semua yang melawan proyek pemerintah pasti langsung ditahan, hilang malam, tiba-tiba mengalami kecelakaan misterius atau ditembak di tempat di depan orang banyak. Pokoknya asal diam dan berhenti protes.
Tommy tentu bisa bilang—seperti yang pernah dilakukannya sebelumnya—itu kan Bapak, bukan saya. Ya bolehlah, Tommy pribadi memang tak pernah terdengar sewenang-wenang. Tommy tak pernah terdengar mengerahkan preman bayaran untuk mendapatkan keinginannya, Tommy juga tak pernah memaksa dan mengancam orang untuk menang balap mobil, Tommy juga tak pernah menekan orang agar menyerahkan assetnya., Tommy tak pernah menyiksa orang agar menuruti kemauannya saat memegang kendali tata niaga cengkeh (BPPC). Tommy hanya jelek di lagu ‘Bento’ Iwan Fals, tapi tak pernah terbukti berbuat kejam, kasar atau tak berperikemanusian, kecuali bapaknya.
Namun, meski demikian saya tetap tak bisa terima kalau Tommy ikut-ikutan bilang Ahok kasar, kejam dan tak berperikemanusiaan. Soalnya tudingan itu tak berdasar. Buktinya cara penanganan Ahok di Kampung Pulo tadi, yang mesti mengerahkan banyak aparat, tapi tak sewenang-wenang sama sekali. Aparat yang banyak itu hanya digunakan sebagai penekanan psikologis, untuk menunjukkan bahwa yang kamu lawan ini pemerintah, bukan Ahok pribadi. Jika kamu bersikeras, seluruh aparat ini bisa saja melakukan pembongkaran paksa, karena tindakan mereka dilandaskan pada hukum, peraturan daerah dan UU. Bukan tindakan liar ala diktator yang tak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali.
Untuk menunjukkan bahwa pemerintah tak semena-mena, Ahok sudah menyiapkan solusi yakni rusunawa megah yang lokasinya cuma 500 meter dari Kampung Pulo, sehingga semua klangenan budaya warga Kampung Pulo tak tercerabut sama sekali. Mereka bisa tetap bercengkarama dengan tetangga seperti biasa karena yang pindah ke rusunawa berkualitas apartement mewah tersebut nyaris seluruhnya warga Kampung Pulo. Mereka bisa tetap bisa bercanda dengan tukang sayur langganan saat berbelanja di halaman rusunanwa, mereka tetap bisa berdagang di lantai dua. Anak-anak mereka bisa lebih bebas bermain tanpa kuatir ditelan arus Kali Ciliwung dan sekolah mereka tetap bisa dicapai tanpa menambah pengeluaran untuk biaya transportasi karena tetap dekat dari rumah, apalagi sebentar lagi semua pelajar Jakarta pemegang KJP akan dibebaskan dari biaya transportasi.
Yang mereka tidak bisa sekarang hanyalah berteriak minta tolong setiap tahun gara-gara terendam banjir sampai ke leher. Mereka tak bisa lagi berjejer di pinggir jalan minta belas kasihan dan menyumpah panjang pendek bila bantuan dari pemerintah dan relawan terlambat datang. Mereka juga tak bisa lagi mencemaskan anak-anaknya yang keasyikan bermain dalam banjir, lalu hanyut atau terserang penyakit kulit, karena rusunawa tak kenal banjir dan ancaman penyakit.