Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tanah Abang, Tak Kunjung Lengang (17)

23 Agustus 2015   10:05 Diperbarui: 23 Agustus 2015   10:05 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Blok G Pusat Grosir Tanah Abang telah lama menjadi sarang penyamun, pedagang risih berdagang di sana, karena banyaknya PSK dan preman...

Di Blok G mereka bukan hanya menjadikan kios-kios yang kosong sebagai tempat tidur dan beristirahat, tetapi juga sebagai bilik asmara untuk para PSK Bongkaran yang berada di bawah kekuasaannya dengan uang sewa antara Rp 20.000 – Rp 50.000 sekali pakai.

PSK Bongkaran sendiri wilayah operasinya memang di sekitar Blok G, yakni di jembatan penyeberangan arah Jl. K.S. Tubun atau Jembatan Kembar Kanal Barat yang disebut juga Jembatan Kembar Kali Baru, di trotoar di sisi selatan Blok G atau di seberang Jl. Jati Bunder dekat pangkalan truk, dan di bawah jembatan kembar Kali Baru di sepanjang rel kereta api jurusan Tanah Abang – Manggarai. Ada enam toilet umum dekat jembatan penyeberangan ke Blok G yang biasa digunakan para PSK dan pelanggannya untuk mengeksekusi transaksi.

Merajalelanya preman dan PSK di Lantai 4 Blok G itu membuat para pedagang dan calon pembeli risih, pembeli enggan ke Blok G dan pedagang tak berjual-beli, belum lagi tingkah polah mereka—preman--yang seenaknya, seperti mengambil rokok atau minuman tanpa bayar, makan minum gratis, minta rokok atau uang tiap sebentar, mencopet atau bahkan menodong, juga para PSK yang mandi dan berdandan di kios-kios kosong tanpa mempedulikan situasi dan kondisi di sekitarnya, akibatnya para pedagang satu-persatu kembali lagi ke jalan. Blok G pun makin lama makin menjadi suram dan kumuh, sampai-sampai digelari blok mati.

Beberapa gubernur sebelum Joko Widodo (Jokowi) – Basuki Tjahya Purnama (Ahok) terkesan tak berdaya menghadapi mubazirnya asset Pemda DKI ini. Mereka juga sepertinya kewalahan dengan para PKL dan preman yang menjadikan jalanan dan trotoar milik negara sebagai sumber penghasilan, tanpa mempedulikan hak-hak publik. Para pejabat itu tampaknya lebih memilih terima setoran saja dari para penguasa tak resmi Tanah Abang, yang jumlahnya diperkirakan sangat besar, karena omzet transaksi di kawasan ini menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencapai US $ 3,04 miliar atau Rp 30 triliun per tahun!

Adanya upaya memodernkan Pusat Grosir Tanah Abang juga menjadi tumpul gara-gara ulah PKL dan preman ini. Keberadaan Blok A, Blok B, Blok F dan PGMTA (Pusat Grosir Metro Tanah Abang) tak membawa pengaruh yang signifikan kepada image negatif Tanah Abang sebagai pusat grosir yang sumpek, kumuh, macet, tidak aman, tidak nyaman dan penuh pungutan liar.

Namun di era Jokowi – Ahok Pusat Grosir Tanah Abang berubah total. PKL bisa dibujuk kembali masuk ke Blok G, fungsi jalan dan trotoar dikembalikan lagi sebagaimana mestinya sebagai jalan raya dan tempat berjalan kaki bagi warga, parkir dan lapak liar yang menjadikan jalan raya dan trotoar sebagai sumber penghasilan ilegal dilenyapkan, keamanan dan rasa aman masyarakat dipulihkan. Tidak heran kalau banyak yang mengapresiasi gebrakan Jokowi – Ahok ini, salah satunya tergambar dari ungkapan puas beberapa penumpang mikrolet 09, “Enak ye sekarang, suasananye kembali seperti tahun 1970-an.” Menurut ibu-ibu yang ngobrol itu tahun 1970-an, ketika Ali Sadikin jadi Gubernur DKI, Pusat Grosir Tanah Abang juga senyaman sekarang.

Supir mikrolet 09 juga senang, biasanya mereka menghabiskan 1 – 2 jam sendiri untuk melewati Jl. Jati Baru, Jl. Kebon Jati dan Jl. Jati Bunder. “Bayangkan aja Bang, dari Jembatan Kali Baru yang ini, ke stasiun, Kolong, balik lagi ke Blok G, terus ke Jati Bunder, dan sampai ke Jembatan Kali Baru yang ono noh yang jaraknya tak sampai 2 kilometer saya bisa ngesot sampai 2 jam, makan trip,” keluhnya. Belum lagi pungutannya. Menurut para supir itu ada 4 titik pungutan di jalur mikrolet M 09, M 09A, M 11, M 08, dan M 10 itu. “Jumlahnya bervariasi, ada yang Rp 2.000 ada yang Rp 3.000, pokoknya paling nggak Rp 10.000 harus keluar setiap kali melewati Pasar Tanah Abang, ada aja namanya uang triplah, uang kelancaranlah, jatahlah,” ungkap mereka. Kini mereka senang karena jalanan berubah lancar dan pungutan liar menghilang.

Sayangnya sekaragi mereka pula yang menyebabkan kemacetan, karena suka ngetem di pertigaan Jl, Jati Bunder dan di pintu keluar Stasiun Tanah Abang Jl. Jati Baru atau kawasan yang disebut Kolong. Mikrolet M 09 dan M 11 ngetem di pertigaan Jati Bunder, M 08 mecetkan jalan dengan membuat terminal bayangan di Kolong. Pihak Dishub dan polisi terkesan membiarkan saja ulah mereka itu. Para Satpol P juga lebih suka duduk-duduk, merokok dan ngopi. Mereka baru bergerak jika Jokowi dan para atasan mereka muncul menyidak.

Para PKL tak kalah gembira. Walau masih kuatir membayangkan masa depan jual belinya, mereka umumnya senang karena tak berada di bawah bayang-bayang preman lagi. “Dulu saya harus bayar Rp 4 juta sebulan, ada transaksi atau tidak,” ujar Junaedi (36), pedagang busana muslim dan perlengkapan shalat di pertigaan Jl. Jati Bunder, Jl Kebon Jati. “Itupun masih digetok lagi sampai 20 kali sehari, yang rokoklah, yang teh botollah, atau langsung minta Rp 5.000 – Rp 10.000, pokoknya macam-macamlah, tau-tau hasilnya gini, tetap aja digusur,” katanya. [caption caption="Suasana Pusat Grosir Tanah Abang sebelum penertiban Agustus 2013"] [/caption]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun