Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tanah Abang, Tak Kunjung Lengang (16)

21 Agustus 2015   21:55 Diperbarui: 21 Agustus 2015   21:55 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Produsen lokal kalang kabut oleh serbuan produk garmen dari China, tapi mereka mencoba tidak menyerah...

Indikasi bahwa optimisme itu ada terlihat pada masih maraknya transaksi di Pasar Tasik. Sampai minggu kedua bulan Ramadhan tahun ini (2013), Pusat Grosir Tanah Abang masih dipadati sekitar 150 mobil toko dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Seperti biasa setiap Senin dan Kamis mereka membuka lapak temporer di sepanjang Jl. Jati Baru, Jl. Kebon Jati dan Jl. Jati Bunder dengan membayar Rp 100.000 per mobil ke ‘anak wilayah’ atau preman setempat. Selain itu mereka juga membuka lapak di lahan parkir Lantai 5 Blok F1 yang telah dikontrak Rp 5 juta – Rp 10 juta per tahun dan dipakai juga pada hari Senin dan Kamis. Mereka juga buka lapak mobil di halaman parkir Yayasan Said Naum Jl. H. Mas Mansyur.

Pasar Tasik permanen terdapat di kawasan pertokoan Jl. Jati Baru, depan Stasiun Tanah Abang dan Lantai 5 Thamrin City. Paling tidak ada sekitar 3.000 pengusaha tekstil dan garmen asal Tasik Malaya dan sekitarnya yang tetap mencoba bertahan menghadapi gempuran produk China. Semangat serupa juga muncul dari para penguasaha batik di Pekalongan, Solo, Yogyakarta dan Jepara. Tapi ya itu tadi, tanpa uluran tangan pemerintah dalam bentuk keringanan pajak, efisiensi regulasi, tarif listrik, harga BBM dan pemberantasan hantu pungli dalam birokrasi perizinan, serta premanisme, semangat juang mereka akan padam sia-sia.

Wajah Baru Tanah Abang

[caption caption="Blok G setelah dirapikan, tetap saja sepi"][/caption]

Mulai Minggu 11 Agustus 2013 Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta melakukan aksi penertiban di Pusat Grosir Tanah Abang. Gerakan itu dilakukan untuk menegakkan dan mengimplementasikan amanat Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini melarang warga berjualan di badan jalan yang mengganggu kelancaran lalu lintas. Jalan-jalan dan trotoar—milik dan hak publik pembayar pajak-- yang telah puluhan tahun dikuasai lapak-lapak PKL melalui kelompok-kelompok yang disebut ‘anak wilayah’ untuk kepentingan dan keuntungan sendiri dibersihkan dari jalanan. Seluruh jalan dan trotoar di Jl. Jati Baru, Jl. Kebon Jati, Jl. Jati Bunder, Jl. Aiptu K.S Tubun Petamburan, Jl. H. Fachruddin, Jl. K.H Wahid Hasyim, Jl. K.H. Mas Mansyur dibersihkan dari lapak-lapak PKL dan parkir liar tanpa pengecualian.

Sekitar 1.000 PKL yang tadinya berjualan di jalan dengan membayar Rp 2,5 juta – Rp 5 juta sebulan kepada ‘anak wilayah’ dipindah ke Blok G. Blok G yang sebenarnya pernah direhab dan ditempati PKL pada tahun 2004, tapi kemudian ditnggalkan karena kondisinya tidak kondusif, terutama dari segi keamanan dan kenyamaan. Banyak preman dan PSK (Pekerja Seks Komersial) beraktivitas di sana. Akibatnya calon pembeli enggan berbelanja ke Blok G, mereka memilih ke Pasar Tasik di depan Stasiun Tanah Abang, atau ke kios-kios di 15 ruas Jl. Jati Baru yang bercabang-cabang seperti ular dalam wilayah beberapa RW di Kelurahan Kampung Bali, atau tepatnya di sisi barat Blok F, atau ke Blok F 1 dan F2, atau malah ke Blok B dan Blok A sekalian, sehingga para pedagang di Blok G tak kebagian pembeli. Ini membuat mereka turun lagi ke jalan dan difasilitasi sepenuhnya oleh anak-anak wilayah, yang menyediakan space lapak tempat berdagang untuk mereka, sekaligus membuat titik-titik parkir liar di semua tempat lowong yang tersedia.

Sebenarnyalah sejak 9 tahun terakhir Blok G telah berubah menjadi sarang penyamun. Para pedagang dan warga Tanah Abang lainnya di empat kelurahan, yakni Kebon Melati, Kebon Kacang, Kampung Bali, dan Petamburan di Pusat Grosir Tanah Abang menyebutnya ‘kampung buronan’. Sebutan ini tak mengada-ada, karena entah bagaimana ceritanya preman yang menjadikan Lantai 4 Blok G sebagai markas atas basecamp mengukuhkan diri mereka sebagai tuan rumah bagi para preman buronan dari mana saja.

Para pelaku kejahatan dari Aceh, Sumut, Riau, Sumbar, Jambi, Sumsel, Lampung, Jabar, Jateng, Jatim, DIY, Bali, Lombok, NTT, NTB, Kalbar, Kaltim, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Sulbar, Sulut, Ambon sampai Papua yang lari dari kejaran aparat yang berwenang di daerah tempat dia melanggar hukum, menjadikan Blok G sebagai tempat persembunyian sementara. Mereka dijamu oleh teman-teman preman di Tanah Abang sebelum menghilang lagi ke tempat persembunyian baru.

Preman Tanah Abang yang menguasai Blok G sendiri menurut Bang Uci (70), warga Jl. Lontar, Kebun Melati, kebanyakan berasal dari Kebon Melati dan Rawa Belong.

 

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun