Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Tanah Abang, Tak Kunjung Lengang (1)

7 Agustus 2015   21:03 Diperbarui: 7 Agustus 2015   21:03 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai Juli 2015 kabar yang terdengar dari Tanah Abang adalah kembalinya kesemrawutan, kembalinya premanisme, kembalinya ketidakpedulian pada hukum, dan kembalinya kecentangperenangan. Sungguh sangat disayangkan, ketertiban dan keteraturan yang sudah bisa ditegakkan pada Agustus 2013, kini hilang tak berbekas. Perlahan-lahan Tanah Abang kembai ke kondisinya semula: kumuh, kacau-balau, penuh praktik pemerasan dan premanisme, macet, sumpek, bikin cape. Kok bisa? Nanti kita lihat, sekarang simak dulu kondisi Tanah Abang tahun 2013, yang pernah memberi harapan segar akan terwujudnya sebuah pusat grosir tekstil dan garmen kelas dunia dan PKL-nya yang sejahtera...

1
Riwayat Panjang Tanah Abang
Suatu siang di bulan Februari 2013. Udara panas dan kemacetan parah menghambat perjalanan saya di ujung Jembatan Banjir Kanal Barat atau yang oleh warga Tanah Abang disebut Jembatan Kali Baru, tepatnya di pertigaan Jl. Aiptu K.S. Tubun, Jl. Jati Baru dan Jl. Jati Bunder, atau di sisi barat Blok G yang mulai Agustus 2013 dibenahi Pemda DKI Jakarta.

Belasan Mikrolet 09 (jurusan Kebayoran Lama – Tanah Abang), 09 A (Meruya– Tanah Abang), dan 11 (Kebon Jeruk – Tanah Abang), satu dua bus Mayasari Bhakti R 507 (rute Pulo Gadung – Tanah Abang), P14 (rute Tanjung Priok – Tanah Abang) beringsut sesenti demi sesenti –nyaris tak bergerak--bersama puluhan mobil pribadi, sepeda motor dari tiga arah jalan dan ratusan pejalan kaki yang rata-rata menjunjung atau menenteng tas belanjaan besar di ujung jembatan Kali Baru tersebut.

“Selamat datang di Tanah Abang,” kata supir M 09 yang saya tumpangi dengan suara pasrah, sambil mengelap lehernya yang berdaki dengan handuk yang tak kalah dekilnya. Sebelum dia menghembuskan asap rokoknya sekali lagi saya buru-buru turun dan membayar Rp 2.000, tarif terendah untuk jarak terdekat yang berlaku di mikrolet pada waktu itu (sekarang setelah harga BBM naik tarif terendah itu menjadi Rp 2.500), maklum saya tadi turun di depan Hotel Kalisma, tempat di mana Koantas Bima 102 (trayek Ciputat – Tanah Abang) berputar dan menambah beban ongkos penumpang yang terpaksa harus naik mikrolet atau ojek lagi kalau ingin masuk Pasar Tanah Abang, padahal trayeknya seharusnya sampai ke dalam Pasar Tanah Abang, tapi karena tidak kuat melawan macetnya supir Koantas Bima itu mengambil jalan aman. Aman untuk dia, beban untuk penumpang.

Turun di sisi kiri trotoar di ujung jembatan yang penuh dengan kios PKL penjual kaos, handuk, celana sport, obat-obatan dan barang-barang loak, saya disambut belasan tukang ojek yang dengan bernafsu menawarkan jasa, saya menggeleng karena melihat ada jembatan penyeberangan yang tampaknya menuju bangunan ruko di seberangnya (Blok G). Jembatan itu tampak rapuh tak terawat--karat mengelupas terlihat di mana-mana—dan di kiri kanan anak tangganya banyak duduk wanita berdandan menor, berbusana minor. Kebanyakan sudah ‘mak mak’ atau STW (setengah tua), meski ada juga yang kelihatannya masih muda. Beberapa lelaki bertampang sangar duduk mengawasi di samping mereka. Saya masih belum ‘ngeh’ dan permisi saja lewat ke atas.

Jembatan itu memang bersambung ke Blok G lantai 3, tapi saat itu pintu penghubungnya yang berupa teralis digembok. “Nggak bisa lewat sekarang Bang, ntar sore bisa,” ujar seorang wanita bercelana panjang coklat terang dengan kaos kuning berbelahan dada rendah. Tumbuhnya gempal dan dandanannya tak kalah menor dengan para wanita yang duduk berjejer di kaki jembatan tadi. Saya mengucapkan terima kasih dan berbalik hendak turun. Eh, tiba-tiba wanita 30 tahunan itu itu merayu. “Ngewek kita Bang?” sambil memamerkan senyum.Maaf, memang begitulah bahasanya.

Buseeet, baru saya sadar sedang ada di mana. Ini kan masih bagian dari Bongkaran, kawasan prostitusi kelas bawah untuk para hidung belang berkantong tipis di Jakarta Pusat! Sekali lagi saya ucapkan terima kasih sambil balas tersenyum juga. “Waduuh makasi Mbak, lagi buru-buru nih.”

Dia tampak kecewa. “Murah kok Bang,” bujuknya, tapi saya sudah buru-buru turun. Di kaki tangga para wanita temannya menyapa, “Kok nggak jadi Mas? Ditanggung puas lho.” Sementara teman pria mereka menatap saya garang. Saya tersenyum lagi dan cepat-cepat masuk ke kerumunan (bersambung).

Hanya dalam hitungan detik saya sudah langsung bertemu dengan 5 aikon Tanah Abang, yakni tak ada peraturan, kemacetan, PKL, prostitusi dan preman.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun