Tadinya saya cuek, mengira RPM itu urusan kecepatan, mesin mobil atau apalah, eh tahunya menyangkut langsung hajat hidup orang banyak. Soalnya dengan RPM (Rancangan Peraturan Menteri) Content Multimedia yang mau coba digolkan jadi PM itu, hobi saya berinternet ria dan mengomentari berbagai berita bisa dijegal, soalnya ada pihak yang memantau email saya, melihatnya seperti The Watcher atau FBI di Enemy of The State (hhhh masih ngeri rasanya hidup di negara kayak gitu). Kita tak sekedar seperti telanjang saja di matanya, tapi telanjang dalam posisi nungging, jelek sekali kan?
Apa yang diingini Menkominfo dengan RPM ini ya? Mengapa di tangannya negara jadi reseh betul, ingin memantau pikiran, ucapan dan perbuatan rakyat? Apa tak ada urusan lain yang lebih penting? Dalam hal ini saya setuju Gus Dur, yang telah membubarkan Deppen dulu. Tapi karena politik butuh kompensasi, maka Kementerian tak berguna ini--kalau memang ada gunanya untuk apa presiden masih menggunakan juru bicara, coba?--dihidupkan lagi dan dengan senang hati menghabis-habiskan uang negara untuk menyusun aturan-aturan yang hanya mengundang protes keras masyarakat.
Apa artinya bila RPM ini berhasil jadi PM? Tahu sendirilah Anda bagaimana yang namanya diawasi itu. Untuk menggaruk pantat pun kita tak bisa, malu kan dipelototin gitu? Mau mencurahkan pemikiran dalam diskusi pun jadi ragu, memilih katanya pun ribet, karena salah-salah bisa-bisa PKP (Polisi Khusus Perilaku) sudah menggedor pintu depan dan mengepung pintu belakang. Mau lari ke mana coba?
Jangan ditanya soal privacy dan demokrasi. Kalau sudah begini kedua hal tersebut sudah pasti almarhum atau paling banter jadi mumi yang dibelsem berkali-kali dan dipamerkan di museum. Hanya sebatas itu, jangan coba-coba membukanya.
RPM ini bukan hanya janggal untuk masa sekarang, ketika dunia sudah terbuka seluas-luasnya dan kita diberi kesmepatan untuk menjadi manusia seutuhnya, dengan sikap dan nalar, dengan prinsip dan wawasan, eh ada orang pemerintah yang ingin memasukkan kita ke tempurung lagi dengan alasan moral, stabilitas politik atau apalah. Padahal dalam tempurung pun yang memang bejat itu akan bejat juga, yang memang asal mengacau itu akan mengacau juga, yang kritis dan tak mau dipaksa akan lahir juga.
Pahamilah Pak Menteri, manusia dilahirkan sebagai mahluk paling mulia di muka bumi, karena akal budinya, jadi jangan perlakukan mereka seperti memperlakukan kerbau, yang cukup diberi rumput lalu diikat hidungnya agar tak macam-macam.
Dan satu hal lagi, yang paling penting. Kami rakyat dan warga negara Indonesia bukanlah milik pemerintah, kami bisa membuat pemerintah jatuh tunggang langgang kalau terus dibikin muak dan Anda bukanlah pemilik kami, Anda tak bisa menghitamputihkan kami sesukanya, sebaliknya kami bisa, karena kamilah yang menempatkan Anda-anda di posisi yang sekarang, jangan memancing-mancing kemarahan kami.
Tabik Pak Menteri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H