Mohon tunggu...
Nyonya Possible
Nyonya Possible Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Manis dengan pemikiran kritis yang ingin mencoba untuk menulis, walaupun terlihat agak sadis, yang penting tetap optimis. Excuse me, I'm still newbie!!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dikotomi Kepemimpinan Gagal dan Hasrat Berkuasa yang Menggila di IKANAS STAN

16 November 2016   20:24 Diperbarui: 17 November 2016   15:23 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi seorang pemimpin adalah bersedia memikul beban besar yang menuntut seseorang tersebut wajib menjadi manusia super yang memiliki segala kelebihan dari orang lain. Harus menjadi paling pintar, harus menjadi paling bijaksana, harus menjadi paling cepat dan harus menjadi paling hebat. Demikianlah konsekuensi menjadi seorang pemimpin.

Jika kita merasa kapasitas kita tidak mumpuni untuk menjadi seorang pemimpin dalam sebuah instansi atau organisasi, sebaiknya diserahkan saja pada yang lebih berkapasitas dan lebih mampu dari diri kita. Meskipun semua manusia itu mempunyai potensi yang sama, namun jika kegagalan-demi kegagalan selalu mewarnai jejak kepemimpinan kita sebaiknya tidak memaksakan diri untuk memimpin.

Pernyataan tersebut tidak seperti yang dilakukan oleh Sudirman Said yang merupakan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang meninggalkan segudang kegagalan. Kegagalan-kegagalan tersebutlah yang membuat Presiden Joko Widodo mencopotnya dari posisi menteri ESDM.

Perlu diketahui bahwa Sudirman Said juga sebelumnya merupakan mantan ketua umum IKANAS STAN yang pada Kongres IKANAS STAN 2016 pada Sabtu (12/11/2016) kemarin didaulat menjadi ketua dewan Pembina.

Sebelum membahas IKANAS lebih jauh sebaiknya kita simak dulu sederetan kegagalan Sudirman Said saat menjadi Menteri ESDM:

  1. Terkait sengkarut izin ekspor konsentrat Freeport. Sudirman Said lebih cenderung membela kepentingan asing daripada kepentingan bangsanya sendiri. Hal tersebut terlihat ketika Sudirman merespon cepat terkait nasib perpanjangan kontrak dan izin konsentrat Freeport. Menteri ESDM seolah-olah memberikan ‘red carpet’ untuk perpanjangan kontrak. Hal itu merupakan kegagalan Sudirman Said dalam merealisasikan amanat UU yakni mengutamakan dan membela kepentingan nasional, bukan malah menjual nasionalisme.
  2. Kegagalan megaproyek pengadaan 35.000 megawatt listrik yang menjadi misi andalan dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Program megaproyek listrik 35.000 megawatt andalan Jokowi-JK pun jauh dari target yang diharapkan. Dari awal Sudirman Said menjabat, baru tercapai sekitar 220 megawatt yang benar-benar jadi, lainnya masih dalam proses konstruksi. Belum lagi terkait program pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), rencana sudah dibuat secara matang, namun pelaksanaan tidak terlihat jelas sama sekali.
  3. Sudirman juga disebut sempat berniat merevisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara untuk memuluskan keberlangsungan investasi Freeport di Indonesia. Namun niat Sudirman berhenti kala Jokowi menyatakan tak bersedia melakukan revisi PP tersebut.
  4. Usul adanya pungutan Dana Ketahanan Energi (DKE) dari tiap liter bensin yang dijual PT. Pertamina dianggap menjadi blunder. Awal tahun ini Sudirman menyampaikan hendak memungut DKE dari setiap liter penjualan bensin PT. Pertamina sebesar Rp200 hingga Rp300. Namun ide tersebut ditolak Jokowi sesaat sebelum harga penjualan bensin diturunkan.
  5. Rendahnya angka cadangan penyangga energi Indonesia sampai saat ini. Cadangan penyangga energi kita kan hanya 22 hari, itu pun untuk BBM (bahan bakar minyak). Bagaimana untuk crude oil dan gas? Kemudian kisruh antara PLN dan Pertamina, itu kan yang panas bumi penentuan harganya saja jadi soal.

Sementara itu, rekam jejak Sudirman Said selama mempimpin IKANAS STAN tidak jauh berbeda dengan kegagalannya saat menjadi Menteri ESDM, malah Sudirman menerapkan gaya kepemimpinan yang susah dinalar oleh generasi di era demokrasi ini, terkesan hanya ingin mempertahankan Status Quo.

Pada masa kepemimpinan Sudirman Said, IKANAS berjalan tanpa selembarpun legalitas (tanpa akta notaris kepengurusan) atau bisa dikatakan memimpin lembaga yang ilegal. IKANAS juga jauh dari prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan dalam kepemimpinannya.

IKANAS terlihat tak mampu mengikuti gerak dinamika zaman, sehingga tidak mampu mengayomi gejolak dan aspirasi generasi baru dari lulusan STAN.

Akibatnya, pada Kongres IKANAS STAN 2016 pada Sabtu (12/11/2016) kemarin Sudirman Said benar-benar menunjukkan berkuasa-berkuasanya yang menggila, dengan mengacaukan cita-cita demokratis yang ingin dicapai dalam kongres tersebut. Kekacauan tersebut dimulai ketika dalam kongres tersebut menerapkan sistem presidium dalam struktur IKANAS STAN, kemudian menghasilkan delapan orang presidium. Sedangkan, Sudirman Said sendiri didaulat menjadi Ketua Dewan Pembina.

Realitas di kongres IKANAS STAN 2016 ini, bagaikan opera van java yang penuh dengan sandiwara yang disutradarai oleh seorang dalang kemudian dicampur aduk dengan komedi, sehingga penontonnya tertawa terbahak-bahak menyaksikan opera tersebut.

Dalang dari opera ini adalah Sudirman Said yang ingin mengabadikan kekuasaannya di IKANAS STAN. Meminjam istilah Presiden Jokowi “Ada aktor politik yang menunggangi kacaunya kongres IKANAS STAN 2016” dia adalah Sudirman Said.

Hasrat berkuasa yang begitu besar yang tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabalitasnya dalam memimpin membuat organisasi ini tetap stagnan dan begitu-begitu saja sepanjang dia memimpin. Apa yang dilakukan Sudirman Said ini tidak sejalan dengan generasi baru dari lulusan STAN.

IKANAS STAN membutuhkan menejer yang progresif, demokratis dan mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kemajuanlah yang terwujud jika hal itu dipenuhi.

Sebenarnya, dengan menjadi aktor politik pada Kongres IKANAS STAN 2016, Sudirman Said secara tidak sadar menghancurkan marwah kepemimpinannya karena kepercayaan para alumni STAN telah direduksi oleh hasrat berkuasa yang menggila dan ego yang besar. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya delegasi yang menarik diri atau memilih Walk Out dari forum kongres tersebut.

Sudirman Said hanya ingin melanggengkan Status Quo di IKANAS STAN, namun tidak memperdulikan aspirasi dan kepercayaan dari para alumni STAN. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa gunanya mempertahankan status Quo jika elemen yang dipimpin tidak mempercayai dan tidak menganggap kepemimpinan Sudirman Said? Secara logisnya, kira-kira apalagi yang hendak dipertahankan jika para sebagian besar alumni STAN tak menghendaki Sudirman Said menjadi nahkoda organisasi.

Spekulasi dan manuver yang dilakukan dengan membuat sistem presidium di struktur IKANAS STAN merupakan ide kolot yang hanya menjadi bom waktu penghancur bagi IKANAS STAN di masa yang akan datang.

Semestinya Sudirman Said menyadari bahaya laten yang merupakan implikasi dari keserakahan nafsu berkuasanya itu. Sebaiknya dia lebih mengutamakan kepentingan organisasi dengan mewujudkan sistem dan proses kaderisasi serta restrukturisasi yang lebih modern dan demokratis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun