Terhenyak kita membaca headline di koran Kompas, hari Minggu tanggal 21 Agustus 2016. Presiden Jokowi menyampaikan keresahannya soal maritim. Didalam artikel tersebut, Jokowi menyampaikan bahwa Visi Poros Maritim Indonesia masih jauh dari harapan, bahkan tidak sesua dengan harapan. Jokowi harus dan wajib resah. Ia yang telah mengumandangkan poros maritim sebagai salahsatu visi utama pemerintahannya. Jokowi pada akhirnya mulai menyadari, bahwa tidak banyak orang yang jadi pembantunya yang sungguh-sungguh paham maritim. Jokowi akhirnya mengakui, bahwa orang-orang disekelilingnya juga ‘gagal paham’ menerjemahkan maksud dari visi besarnya bagi Indonesia itu.
Kondisi dan situasi ini sebenarnya telah diprediksi sejak lama. Jokowi akan terus menerus diganjal, akan selalu disimpang-simpangkan oleh banyak kepentingan agar tidak sampai kepada visi besar itu. Penulis mencatat, telah beberapa kali menulis tentang adanya situasi krisis maritim yang sangat mungkin melarung maritim Indonesia kearah kegagalan akut.
Indikasi dari situasi krisis maritim terlihat sejak bermunculannya interpretasi yang keliru, berakibat kepada kebijakan yang keliru pula, yang ironisnya dilakukan oleh para pemangku kebijakan, para pembantu presiden, yang seharusnya berkewajiban menselaraskan kebijakan dan interpretasi maritimnya sesuai dengan kerangka dasar visi Jokowi tersebut. Ada semacam ‘kesengajan struktural’ yang bermaksud menggagalkan atau setidaknya sekedar ingin memanfaatkan visi maritim Jokowi, untuk pemuasan hasrat jangka pendek yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan bangsa.
KESALAHAN TERJADI SEJAK DI HULU
Melencengnya arah visi maritim yang menyebabkan adanya orang disekeliling presiden yang memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga visi maritim menjadi jauh dari harapan, sengaja atau tidak disebabkan oleh nilai fundamen yang kadung keliru.
Seperti sebuah rumah, maka fundamen yang keliru, pondasi yang salah, mengakibatkan bangunan ingga atap menjadi keliru dan salah pula. Miring pondasi sebuah rumah, maka miringlah bentuk rumah. Ringkih fundamen sebuah rumah, maka cepatlah runtuh rumah tersebut.
Nah, itulah kondisi maritim Indonesia, yang oleh Jokowi dikumandangkan kelak akan menjadi poros bagi maritim dunia.
Fundamen dan pondasinya terlanjur keliru dan salah. Seperti sebuah rumah, maritim Indonesia terancam miring dan cepat runtuh. Kita bisa menyebutnya sebagai fase “Gagal Maritim”. Sebuah fase dimana maritim hanyalah sebuah slogan dan retorika politik, tetapi kemudian redup dan tenggelam.
Apabila kita mau jujur, maka hanya ada setidaknya empat parameter utama yang dapat kita analisa agar kita memahami apakah maritim Indonesia sudah sesuai dengan sebagaimana mestinya, yang membuat setiap gerakan maritim simetris dengan Visi Poros Maritim Dunia. Keempat parameter itu adalah bagaimana kedudukan hukum dan perundang-undangan, bagaimana memilih orang sebagai pemangku jabatan, bagaimana regulasi dan kebijakan dikeluarkan, dan terakhir bagaimana praktik dan aplikasinya.
Pijakan hukum dan perundang-undangan yang berkait maritim muncul tumpang tindih.
Salahsatunya adalah undang-undang tentang keamanan laut. Pelbagai aturan dan undang-undang dihadirkan tetapi kemudian bertabrakan satu sama lainnya. Muara dari situasi tersebut adalah para pihak yang merasa memiliki kewenangan kemudian menerjemahkan aplikasi kebijakannya sesuai selera aturan yang mereka miliki. Kehadiran Badan Keamanan Laut(Bakamla) yang semula dimaksudkan untuk menjaga keamanan di laut, justru bertabrakan dengan UU nomor 34/2004 tetang TNI yang memberikan lima tugas kepada TNI-AL. Salahsatu tugas dalam pasal 9 huruf b UU tersebut, adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah laut nasional sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Lalu, siapa sebenarnya penjaga keamanan laut kita?
Itu hanya sekelumit contoh adanya aturan hukum dan perundang-undangan yang tumpang tindih sehingga malah justru memunculkan ketidakpastian hukum. Kita pada akhirnya terpaksa perlu mempertanyakan apakah prosedur pembuatan sebuah aturan hukum dan perundang-undangan sudah sesuai atau belum dengan standar akademik yang berlaku seharusnya. Jangan-jangan, untuk mempercepat maksud dari kepentingan jangka pendek, proses pembuatan aturan hukum dan perundang-undangan di’short-cut’ sedemikian rupa sehingga secara sengaja memangkas prosedur dan tata aturan dari sebuah proses perumusan dan pembuatannya.
Variabel kedua adalah tentang memilih orang yang dipilih dan ditunjuk menjadi pemangku jabatan dalam jabatan-jabatan strategis yang berkenaan dengan maritim. Memahami maritim bukan sekedar hanya memahami laut. Karena maritim adalah aspek tersendiri yang harus diterjemahkan. Memahami maritim hanya sekedar laut, menjadikan para penganut paham tersebut tersesat semakin jauh. Untuk dapat menerjemahkan maritim, maka diperlukan orang-orang yang pemahaman maritimnya mumpuni. Untuk hal ini, maka menempatkan jabatan Menteri Kordinator Maritim (Menkomar) kepada orang-orang yang tidak paham dan tidak mampu mendefinisikan maritim sebagaimana seharusnya, adalah sebuah kecelakaan fatal bagi perjalanan masa depan maritim nasional.
Negeri ini punya terlalu banyak putera terbaik yang cukup paham maritim. Fakta itu memberi kita banyak alasan kenapa jabatan Menkomar, yang katanya jabatan yang menggawangi visi poros maritim, seharusnya dikawal oleh seorang menteri dengan pemahaman maritim yang mapan. Karena itu, memilih Menkomar harus dijauhkan dari aspek politik, tetapi berbasiskan kepada kompetensi. Bagaimana cita-cita maritim Indonesia akan selamat sampai ke tujuan jika jabatan menteri maritimnya dipegang oleh seorang tekhnokrat ahli sistem radar yang sedang mengurusi ‘makanan’ di FAO, atau diserahkan kepada seorang aktifis tekhnokrat yang pakar ekonomi, atau bahkan kepada seorang jenderal tentara yang berlatar belakang Angkatan Darat.
Bagaimana bisa bersepakat kalau belum bersepaham. Bagaimana bisa bersepakat dengan visi poros maritim jika belum paham maritim.
Kedua aspek dan parameter diatas rasanya cukup memberi kita kisi-kisi bahwa kita memang telah melakukan kesalahan di hulu. Soal aturan hukum dan perundang-undangan serta soal memilih pemangku jabatan. Keduanya kemudian mengalirkan kesalahan lain yang tidak kalah derasnya, yang semakin membuat maritim nasional menjadi jauh dari harapan, seperti yang diresahkan oleh Presiden Jokowi. Regulasi dan praktik pelaksanaan kebijakan maritim pasti melenceng, apabila aturan hukum dan pemangku jabatannya pun telah salah. Seperti istilah, jika tinta hitam dilarungkan di hulu maka air di hilir akan hitam pula. Inilah ancaman sebenarnya maritim Indonesia.
Jika kita memandang visi poros maritim Jokowi terlalu protagonis, terlalu menjilat, maka kita sama saja sedang mempertaruhkan masa depan maritim Indonesia kearah jurang kehancuran. Dan Jokowi sangat mungkin malah ikut terkorbankan. Harus ada diskursus, atau bahkan sedikit perlawanan yang antagonik, yang tidak pernah bosan mengingatkan bahwa perjalanan maritim Indonesia sedang mengarah, kalau tidak mau dikatakan diarahkan, ketujuan yang keliru. Yang bukan membawa Indonesia kearah poros maritim dunia, tetapi malah menuju fase kegagalan maritim. Dan kita akan masuk ke ruang gelap ke-jahiliyahan maritim.
Presiden menyadari hal tersebut, kegundahannya yang memberinya keberanian menyampaikan komentar ketiakpuasannya pada perjalanan maritim nasional di harian Kompas hari Minggu lalu. Dan kita pada akhirnya harus bersepaham, bahwa bahkan Jokowi sekalipun akhirnya menyadari bahwa jika kita tak segera meluruskan arah maritim kita, maka pintu “Gagal Maritim” semakin terbuka dan kita akan terhisap kedalamnya.
Oleh : Irwan. S
Penulis adalah pemerhati maritim, tinggal di Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H