Pada era demokrasi prosedural, seperti yang saat ini dijalankan oleh negara kita, yang hanya mensyaratkan kemenangan mayoritas tanpa membuat batasan-batasan tentang nilai kemenangan yang diraih, membuat proses kontestasi politik dalam bingkai pemilihan langsung meniscayakan setiap kandidat melakukan berbagai macam kecurangan demi memenangkan dirinya. Demokrasi prosedural yang bersendikan kepada suara mayoritas harus diakui membuka jalan bagi segala jenis kecurangan yang metode dan modusnya menjadi amat kaya dan beragam. Pilkada adalah salahsatu peristiwa kontestasi politik yang harus kita cermati.
Sebelumnya marilah kita petakan dahulu siapa sajakah pemain dalam pilkada. Setidaknya ada empat pemain utama dalam pilkada, yaitu partai politik, KPUD, SKPD sekaligus Camat dan Kepala Desa, dan Oknum Kepolisian. Partai politik secara langsung berpengaruh dalam pilkada karena syarat utama seorang calon kepala daerah adalah memiliki dukungan resmi dari DPP partai sesuai jumlah kursi yang ada di kabupaten/kota atau propinsi tempat si kandidat mencalonkan diri. Parpol juga memiliki mesin politik yang cukup rigid hingga tingkat desa, bahkan rukun warga/dusun. Syarat dukungan parpol dan tersedianya mesin politik di tiap kabupaten/kota dan propinsi menyebabkan dominasi pertarungan politik pilkada dikuasai oleh parpol. Walaupun untuk beberapa pilkada dimenangkan oleh calon independen, itupun tidak banyak jumlahnya.
Pemain kedua adalah KPUD setempat. Dalam pelbagai peristiwa 'belanja suara' sesungguhnya bukan terjadi pada masyarakat pemilih. Pemilih kita pada saat ini sudah terlalu cerdas untuk mau menukarkan pilihan politik mereka dengan uang. Dalam diskusi tentang politik uang di Februari 2014 di KPU, penulis secara gamblang menyampaikan bahwa praktik belanja suara bukan antara calon dengan pemilih, tapi antara calon dengan perangkat KPU seperti KPUD, PPK, PPS dan bahkan KPPS. Modus jual beli suara yang dilakukan oleh perangkat penyelenggaraan pemilihan terjadi amat sistemik dan sangat halus. Mulai dari manipulasi daftar pemilih di formulir C6 di TPS, hingga praktik buka tutup TPS yang dilakukan sesuai kepentingan anggota KPPS.Â
Formulir C6 yang diendapkan oleh KPPS memungkinkan terjadinya penyalahgunaan sisa kertas suara yang tidak terpakai untuk selanjutnya dipergunakan untuk kepentingan calon tertentu. Proses tersebut tidak berhenti disitu, untuk TPS-TPS yang rentang kendali dan jaraknya berjauhan dari kantor desa dimana PPS berada, praktik yang terjadi adalah 'memacul' kotak suara. Di tahap ini modus yang dilakukan adalah mulai dari mencoblos kertas suara yang tidak terpakai, hingga mangganti kertas suara dengan kertas suara palsu yang telah disiapkan oleh calon tertentu yang pastinya telah dicoblos sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pemenangannya. Manipulasi berikutnya terjadi di PPK tingkat kecamatan. Dan selanjutnya secara sistemik memanfaatkan angka perolehan suara yang telah ditabulasikan di level KPUD.
Pemain ketiga adalah SKPD, para birokrat, mulai dari sekda, kepala dinas hingga camat dan kepala desa. Kekuatan jaringan ini juga tak bisa diremehkan. Hal yang mengakibatkan mereka menjadi amat agresif biasanya adalah karena persoalan masa depan karier birokrat mereka. Tidak heran dibeberapa pilkada kadang para birokrat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia untuk memenangkan calon tertentu.
Pemain ke empat adalah oknum anggota kepolisian setempat. Posisi anggota polisi yang ada di tiap jenjang mulai dari TPS hingga KPUD atas nama pengamanan pilkada memungkinkan calon tertentu mempergunakan oknum polisi untuk 'mengawal kecurangan sistemik' yang mereka lakukan. Tidak heran, pada beberapa pilkada di Sumatera diantara 2010 hingga 2012, calon tertentu sampai menyewa pasukan organik TNI untuk mengawal keamanan kertas suara karena khawatir oknum polisi memihak lawannya.
Melihat kenyataan tersebut maka kita dapat melihat potensi kecurangan saat pilkada amatlah besar. Belum lagi praktik propaganda hitam yang modus dan caranya kian berkembang.
Menjadi amat sulit bagi seorang calon memenangkan kontestasi tanpa kecurangan, karena lawan politik dapat dipastikan akan melakukannya. Kehadiran konsultan politik pun dipergunakan untuk memaniskan kecurangan itu, sehingga tidak tercium oleh siapapun.
Rakyat pemilih juga hanya akan terpaku pada angka setelah ditabulasikan di KPUD. Maka terkadang penggunaan rakyat sebagai pressure group juga menjadi keniscayaan.
Pilkada langsung yang bersendikan hanya pada suara mayoritas tanpa membenahi perangkat parpol, penyelenggara pemilihan, birokrat dan satuan pengaman pemilihan, hanya akan menghasilkan kepala daerah curang yang korup dan menindas. Mereka dapat dipastikan mengulangi kecurangan mereka saat pilkada lima tahun berikutnya ketika ingin mempertahankan jabatannya. Bahkan kali itu, bisa lebih masif dan terstruktur karena status petahana yang mereka miliki.
Tantangan demokrasi langsung yang kita pilih memang amat beresiko. Tapi dalam situasi serba prosedural tak ada jalan lain selain menang curang ketimbang kalah terhormat.
Oleh : Irwan Suhanto
Penulis adalah pemerhati sosial, terlibat dalam pelbagai pilkada langsung 2010 hingga 2012. Pendiri Etos Indonesia Institute dan Lembaga Kajian Strategis Nasional.