LINO DAN PANGGUNG KEGENITAN POLITIK
Membaca tulisan Reinald Kasali di sebuah media online siang tadi, saya menjadi tergugah. Tidak dinyana, seorang ekonom sekaligus pebisnis seperti Reinald mampu menulis politik dengan keras dan tajam. Tetapi siapapun di negeri ini pasti gemas melihat akrobat kegenitan politisi dan orang-orang yang berlagak politisi diatas panggung yang mereka cipatakan sendiri. Celakanya, panggung itu dibangun dengan mengorbankan orang tertentu, dalam kasus Pelindo II, Lino. Reinald Kasali mengawali tulisannya dengan amat rasional, dia menulis tentang prestasi CEO-CEO berprestasi yang tanpa disadari menorehkan catatan-catatan baik di bidangnya masing-masing.
Perkara Pelindo II memang menguras konten berita media kita lebih dari satu bulan. Intensitas yang tinggi terhadap pemberitaan Lino, sang Direktur Utama Pelindo II, membuat darah genit politisi mendidih, mereka terangsang untuk ikut “menggebok” Lino. Kegaduhan seperti digenapi oleh tarian manuver aktifis politik dan tiupan terompet parau para petualang yang menyamar seakan-akan politisi.
Yang paling lucu dari panggung-panggung itu adalah pertunjukan ‘parodi’ yang dilakukan oleh Serikat Pekerja (SP) JICT, anak usaha Pelindo II yang seperti kesetanan memusuhi habis-habisan Lino karena alasan perpanjangan konsesi. Menjadi amat menggelikan, karena dengan alasan yang terus menerus dilontarkan, sebuah SP di anak perusahaan menjadi amat liar ingin menelanjangi sang Direktur Utama induk perusahaannya. Mereka seakan lupa bahwa sekalipun bila benar Lino berbohong soal perpanjangan konsesi itu, maka itu bukan domain sebuah SP. SP JICT juga pernah menolak kehadiran Lino di JICT, padahal sebagai Direktur Utama Lino bebas kemanapun pergi berkunjung, apalagi ke anak perusahaan dibawah kendalinya. Tindakan tersebut meramaikan panggung narsisme politisi dan oknum berlagak politisi.
Beberapa hari lalu, saya diundang seorang rekan untuk hadir dalam acara diskusi interaktif yang diadakan oleh organisasi pemuda nasional, KNPI. Yang menarik, semua pembicaranya sudah dikenal publik sebagai orang-orang yang menolak dan menyerang Lino di berbagai media. Menjadi aneh. Karena saya menjadi berkewajiban mengajukan pertanyaan, apa urgensinya KNPI mengumpulkan musuh Lino dalam satu panel diskusi? KNPI sedang bermain permainan apa? Esok harinya saya menjadi terbahak karena kemudian saya mendapat info bahwa yang mengadakan acara diskusi tersebut adalah seorang Ketua Bidang Keamanan di DPP KNPI.
Memangnya apa hubungannya Pelindo II, Lino dan Keamanan? Saya menjadi semakin yakin organisasi tersebut sedang beraksi menggoreng kasus, apalagi setelah saya mendapat konfirmasi langsung dari Wakil Sekjend Bidang Perhubungan (ini yang justru berkompeten) DPP KNPI bahwa bahkan ia sekalipun tidak dihubungi perihal diskusi itu. Menggelikan. KNPI menjadi latah ikut genit main mainan Pelindo II, main mainan Lino. Dahsyat benar Lino. Ia memberi panggung beratus petualang politik untuk tampil dan beraksi.
Tapi baiklah kita kemudian bisa belajar dari peristiwa paling kampungan diatas tadi. Bahwa kekuasaan pemerintahan Jokowi-JK yang baru hitungan bulan saat peristiwa tersebut, harus membuktikan ketangguhannya menembus kabut rejim lama yang masih menutup tebal, sekaligus juga harus mampu memastikan bahwa bahtera mereka sanggup menerabas badai politik yang terciptakan oleh justru para pendukung mereka sendiri. Masa-masa gamang memang rawan menciptakan lapangan pertarungan politik instan yang berpotensi konflik berkepanjangan. Dalam kondisi seperti itu, semua orang merasa perlu eksis, semua orang merasa perlu tampil. Dan karena lapangan pertunjukan amat mudah terbentuk maka semua orang merasa perlu beraksi.
Lino mungkin saja terlihat sebagai target sasaran, bagi yang mendukung, Lino dipersepsikan akan dikorbankan. Tapi mana tahu bahwa ada yang datang kepadanya untuk memberi garansi keamanan kedudukannya, sehingga kemudian karena nama besar sang tokoh penjamin, Lino lalu sangat mungkin memberinya kesepakatan. Dibelakang Lino, sang master secara telanjang justru membiarkan bahkan memerintahkan oarnag-orang untuk terus ‘menggebuki’ Lino. Lino tergoreng.
Tapi toh semua skenario itu tak jua mampu menghabisinya, Lino punya prestasi.
Apabila kita bicara tentang Program Tol Laut Pemerintahan Jokowi-JK, maka kita harus memberikan kesempatan kepada pihak otoritas pelabuhan, sebagai pihak yang paling vital dalam Tol Laut, untuk berbenah diri. Tol Laut yang bersendikan kepada pelayaran niaga berbasis pelabuhan ke pelabuhan jelas membutuhkan kepemimpinan pelabuhan yang kuat dan visioner. Kita tidak bisa menjalankan program Tol Laut dengan nafsu menginjak kaki orang lain yang sampai ke ubun-ubun. Bagaimana bisa kita memulai program tersebut jikalau otoritas pelabuhan justru diperlemah. Siapa sebenarnya yang sedang bermain dibelakang itu semua.