Mohon tunggu...
IMOSAC Jakarta
IMOSAC Jakarta Mohon Tunggu... -

Indonesia Movement Study & Analysis Center

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Dari Munas Hanura II: Wiranto dan Perspektif Kepartaian Baru

16 Februari 2015   19:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musyawarah Nasional (Munas) II Partai Hanura baru saja selesai dilaksanakan. Publik tidak banyak memiliki catatan yang tampak menonjol dari perhelatan akbar partai yang dipimpin kembali oleh Wiranto itu, kecuali ‘berkumpulnya’ para petinggi parpol dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Masyarakat politik, seperti dipertontonkan sebuah pesan, bahwa sesungguhnya tidak ada konflik apapun antara parpol pendukung dengan Jokowi atau sesama parpol pendukung. Wiranto menjalankan ‘peran’ penting dalam momentum tersebut. Ia memainkan peran “juru damai” tapi juga sekaligus berperan sebagai propagandis KIH, yang secara tegas ‘menyampaikan’ bahwa tak ada konflik apapun diantara mereka sesama pendukung Jokowi. Disinilah, sebagai seorang politisi, Wiranto memperlihatkan kelihaiannya mengarungi alur ombak politik.

Tetapi, penulis mencatat adanya hal yang kering dalam Munas lalu. Jikalau di lingkaran KIH Wiranto terlihat sangat aktif dan progresif, Wiranto justru terlihat terlalu takut menjalankan peran sentralnya kedalam partai Hanura itu sendiri. Padahal, potensi kekuatan internal Hanura juga bukan main-main. Didalamnya, kader muda progresif berhimpun, dimulai dari para mantan aktifis hingga kaum profesional. Sikap Wiranto itulah yang kemudian tertular kedalam atmosfir munas, yang adem ayem. Yang diistilahkan penulis sebagai suasana yang ‘aneh’.Karena hampir tak ada manuver politik apapun. Malah terkesan seperti sebuah acara silaturahmi nasional biasa, ketimbang sebuah munas.

Wiranto yang mencoba berselancar dalam ombak yang dia ciptakan sendiri kemudian terlihat sangat hati-hati. Kehati-hatian inilah yang kemudian seperti energi besar yang membatasi para kadernya untuk juga bersikap sama, mereka semua tidak mau off-side. Untuk perkara yang satu ini, harus diakui bahwa Prabowo Subianto lebih berani. Prabowo, mempraktikan politik terbuka dan “strike to the point” kedalam partai Gerindra. Perilaku politik itulah yang kemudian membuat banyak kader muda Gerindra mampu menyalurkan energi mudanya dan kemudian mempertontonkan kualitasnya kepada Prabowo. Prabowo kemudian menyambutnya kembali dengan membuka ruang terbuka bagi mereka. Praktik itulah yang membuat Gerindra kemudian mampu melicinkan jalan akselerasinya ke semua titik sentral bidikan. Hasilnya, Pemilu 2014 menempatkan mereka di posisi ke 3, dibawah PDIP dan Golkar. Sebagai partai muda, prestasi Gerindra bukanlah sembarangan. Didalam konteks ini, Wiranto harus lebih lentur lagi, sehingga dia mampu mengetuk-tularkan kelenturan tersebut kepada kader-kader mudanya, sama seperti apa yang Prabowo lakukan di Partai Gerindra.

Tetapi, selalu ada sifat positif yang didapat dibalik sikap Wiranto itu, setidaknya Wiranto berhasil ‘memaksa’ kader-kader mudanya untuk meminimalisir praktik politik yang terlalu menguras energi. Disamping itu, penulis memperkirakan, Wiranto juga memainkan skenario itu justru untuk mempersiapkan ‘lapis terbaru’ dalam hal kaderisasi didalam partai Hanura.

Sikap yang tertib dan menghindari keruwetan tak perlu didalam munas itulah juga yang menjadi “pesan” terselubung Wiranto kepada publik. Seakan-akan ia ingin menyampaikan bahwa Hanura adalah pilihan tepat bagi sebuah arena politik kepartaian yang dijalankan secara damai. Ia berusaha merontokkan stigma politik yang terlalu serius dan justru mengesankannya sebagai “hobi”, ringan tapi berisi. Wiranto menpertontonkan sebuah munas parpol tanpa pertikaian. Itupun merupakan pesan darinya kepada publik. Walaupun untuk itu, masih perlu waktu untuk mengujinya.

Menarik untuk diamati, karena sepertinya Wiranto mempelajari betul karakteristik politik sang Presiden, Jokowi, yang juga mempraktikan politik yang ringan dan tidak terlalu serius. Kedua, Jokowi juga melihat partai politik bukan sebagai sesuatu yang terlalu dibuat berat. Jokowi menggunakan partai politik sebagai ajang dia berpolitik karena ia merasa bahwa hanya parpol yangdapat dijadikan sebagai alat perubahan yang efektif, disamping itu, Jokowi juga melihat masuk atau terlibat dalam parpol karena hanya itulah jalan satu-satunya mengikuti arena kontestasi politik. Dan Wiranto, seperti Jokowi, menempatkan pemahaman itu sebagai sebuah diskursus terhadap sistem kepartaian yang dipraktikan terlalu ideologis, terlalu kaku, padahal didalam parpol tersebut, orang-orangnya tetap saja berebut mengincar jabatan semata. Pelajaran berharga itulah yang membuat Wiranto menarik haluan parpolnya kearah yang sama sekali berbeda.

Nah, tantangan terbesar Wiranto kedepan adalah apakah ia mampu mempertahankan ‘jalan baru’ itu dengan konsisten. Entah disadari atau tidak olehnya, sepertinya Wiranto mengetahui bahwa ada sejumlah kader dilapis kedua di Hanura yang dipandang cukup mampu membawa “misi” partainya kearah yang dia inginkan itu. Wiranto mulai mengendus adanya sejumlah orang didalam Hanura yang sebenarnya masuk kesana hanya sekedar mencari suaka, bukan untuk membesarkan partai. Tetapi, sekali lagi, seperti juga Jokowi, Wiranto memilih menjalankannya dengan lebih halus walaupun itu menguji kesabaran. Seperti politikus Jawa pada umumnya, Wiranto memilih tidak mengambil langkah terlalu radikal. Ia seperti sedang menunggu saat dimana lapis kedua yang ia harapkan itu menjadi lebih matang dan siap. Untuk itulah, sikap Wiranto saat ini dipandang oleh penulis sebagai sebuah “ruang sistem”. Dimana sistem itulah nanti yang akan melempar siapapun yang tidak sesuai dengan jamannya keluar arena. Wiranto seperti sedang membuat mesin ‘cuci gudang’.

Pertanyaannya, apakah Wiranto akan mewujudkan strategi itu dalam penentuan struktur kepengurusan Hanura kedepan setelah ia terpilih kembali secara aklamasi dalam Munas Hanura II lalu. Atau ia memilih menunggu lebih lama lagi atas dasar efisiensi dan kesiapan. Untuk perkara pengambilan keputusan itulah, Wiranto dapat diyakini tak perlu diragukan lagi, Wiranto bukanlah orang yang mudah dipengaruhi dan diprovokasi. Ia sangat matang dalam urusan pengambilan keputusan.

Dalam perspektif ini, Wiranto jauh lebih unggul dibanding para mantan jenderal yang memimpin parpol seperti SBY, Prabowo atau Sutiyoso. Wiranto tak akan terburu-buru. SBY, Prabowo atau Sutiyoso pasti mampu mengkondisikan agar terpilih secara aklamasi, seperti cara Wiranto terpilih kemarin. Tetapi, Wiranto mampu mengemas prosesi aklamasi itu menjadi jauh dari perkara seakan-akan tidak ada kader lain yang mampu. Tapi, sama seperti pidatonya dibanyak kesempatan didalam banyak acara internal Hanura, Wiranto harus menciptakan personalia yang berbeda, sebuah struktur dan anatomi yang sama sekali berbeda. Dan untuk itulah, Wiranto perlu mengawal sistem konsolidasi organisasinya itu smpai menjadi paripurna. Itulah kenapa aklamasi menjadi masih diperlukan.

Yang menarik, prosesi aklamasi terpilih kembalinya Wiranto dalam munas lalu tidak dicapai kesepakatannya setelah ada tarik menarik. Kesepakatan aklamasi ditemukan secara musyawarah mufakat, menggunakan sejatinya demokrasi kita, demokrasi bangsa ini sesungguhnya. Wiranto mendobrak anggapan bahwa demokrasi itu “wajib” voting. Dan ia berhasil melewatinya.

Wiranto juga memberi signal bahwa jabatan politik adalah perkara “kepantasan”. Ia seperti menyentil kadernya yang diberi kepercayaan jabatan politik, baik di partai maupun dalam kabinet pemerintahan saat ini. Ia seperti menangkap kegelisahan beberapa kadernya yang mencurigai kepercayaan yang diberikan olehnya sebagai jebakan untuk diuji.

Hal lain yang menarik dari Wiranto adalah tentang sikapnya kepada kader-kader partai yang berasal dari kalangan aktifis. Terlihat sekali, sebagai seorang mantan jenderal tentara, ia di satu sisi membuka ruang, tetapi disisi lain, ia juga menguji daya tahan kader mantan aktifisnya. Disinilah, Wiranto sebenarnya merasa bahwa daya tahan para mantan aktifis harusnya lebih dapat diandalkan ketimbang kader-kadernya yang berasal dari ormas-ormas biasa atau kader-kader baru yang berasal dari kalangan profesional yang ia ketahui akan lebih “ringkih” ketimbang para mantan aktifis. Sangat mungkin ia berharap lebih besar kepada kader-kadertnya yang berasal dari kalangan aktifis tersebut.

Munas II Partai Hanura memberikan misteri baru kepada banyak orang, akan seperti apakah partai ini kedepan. Dan Wiranto, memberikan warna misteri ini dengan cita rasa yang khas politik Jawa. Dan seperti juga banyak parpol lainnya, Wiranto menginginkan bangunan partainya akan terbentuk menjadi partai modern. Tetapi ukuran dan kualitas modernisasinya itulah yang sedang ia “sembunyikan”. Wiranto telah mengantongi sistemnya. Hanya ia yang tahu kapan sistem itu dijalankan. Semua kader partai harus ekstra waspada. Karena dalam misteri tersebut, bukan tak mungkin langkah yang salah akan menyebabkan mereka tersingkir dari konfigurasi politik di internal partai. Membaca dan mengamati signal Wiranto dengan lebih jeli dan teliti adalah keniscayaan yang wajib dilakukan oleh siapapun yang tetap ingin ada dalam spektrum internal. Bermain aman, hanya menunggu‘bola muntah’ dapat dipastikan akan justru terseret arus deras keluar arena. Wiranto menguji sekaligus memberikan tamparan keras kepada para kadernya. Ia menyadari betul bahwa perolehan suara Hanura yang tidak maksimal di pemilu lalu mengharuskan ia mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menyelamatkan masa depan Hanura. Dan kekuatan itu hanya ada dalam genggaman tangannya. Karena Wiranto adalah pusat putaran grafitasi energi Partai Hanura. Ialah sentral kekuatan dalam partainya. Wiranto, dengan kemampuannya, akan mempraktikan perspektif kepartaian baru bagi Hanura dan ia, dengan misterinya, seperti telah “memaksa” para kadernya untuk selalu siap, terutama siap apabila ternyata haluan diarahkan ketitik yang sama sekali baru. Wiranto sedang menantang kadernya untuk siap melawan terpaan angin dan hempasan badai. Dan apabila benar, maka hanya ada kader muda yang progresif dengan daya tahan tinggilah yang akan berada dalam sistem anatomi yang diinginkan Wiranto itu. Dan publik akan menjadi saksi dari ikhtiar tersebut.

Irwan Suhanto

Penulis adalah Anggota Dewan Pendiri Lembaga Kajian Strategis Nasional

Tinggal di Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun