"Patah hati" jawabnya ringan.
Aku tergelak. Memandangi tubuh kekarnya yang gilap ditimpa cahaya siang pukul satu. Laki laki bertubuh besar itu mengambil beberapa cangkang moluska kemudian dilemparkan ke arah laut. Pertemuan kami berumur satu jam setelah kapal menepi. Kami saling mengiringi langkah. Sejujurnya aku belum tahu harus kemana dulu selain mencari penginapan.
"Lalu, kau sendiri?" dia bertanya balik. Sebuah serangan yang sudah kuprediksi sebelumnya. Namun aku sudah lebih dari kuat untuk mengatakan banyak hal sedih. Rahangku sudah cukup keras untuk menahan air mata, aku yakin tidak akan membuangnya setelah menjawab pertanyaan.
 "Bulan madu, mandiri" jawabku pelan, hampir tak terdengar. Kutundukkan kepalaku, mengamati kaki telanjang yang berangsur menghitam. Menjelajah alam bukan bagian dari kepribadianku. Aku lebih suka di dalam ruangan, mengenakan kacamata dan menghabiskan waktu berjam jam di depan layar.
Udara pantai seperti menampar nampar pipiku, pundak hingga betis yang kubiarkan terbuka. Maumere terlihat sepi, namun menjalarkan rasa damai. Sedikit mengisi ruang kosong yang menganga dalam jiwaku. Kini aku mengerti mengapa laki laki yang kucintai begitu terobsesi dengan alam. Penyuplai udara segar, mungkin itu salah satunya.
Laki laki di sebelahku mengedarkan matanya ke sekeliling. Berakhir ke arah tubuhku berdiri.
      "Bulan madu?" dia bertanya.
Aku mengangguk.
      "Suamiku meninggal tiga bulan yang lalu. Kami berencana menghabiskan masa bulan madu di sini. Aku merasa berhutang padanya jika tak mewujudkan apa yang ia inginkan. Ini, di dalam ranselku, kubawa abunya. Kami sedang berbulan madu, meski aku tak bisa menyentuh kulitnya" kugoyangkan ransel coklat di punggungku.
Kami berjalan menyusuri garis pantai. Bercakap cakap, sekedar basa basi mengenai apa yang akan dilakukan selama di sini. Hingga pada sebuah kedai di tepi pantai kami menghentikan langkah, menaruh ransel dan memesan minuman dingin.
      "Lalu apa rencanamu?" tanyanya setelah pelayan menyodorkan beberapa botol soda dan es jeruk pesananku. Aku menggeleng, mengamati lautan yang rasanya siap untuk menggulung tubuhku. Aku tak memiliki jadwal khusus yang harus kulakukan di sini. Cukup bangun, menyusuri pantai, bercakap dengan penduduk asli, memasak makanan baru, mencari cinderamata untuk ibu dan pulang ke Jakarta dengan harapan bahagia.