Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fetus

10 Februari 2019   11:10 Diperbarui: 10 Februari 2019   11:41 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kadang kadang aku iri dengan makhluk Tuhan yang bernama lelaki. Bagaimana mungkin dunia bisa terkagum kagum dengan sosok tanpa pasangan di usia 20 hingga 30-an asalkan mereka memiliki uang? Sedangkan kami, perempuan. Dipaksa melanggengkan tradisi untuk 'menikah di usia yang tidak terlalu tua', walaupun  kami sebetulnya juga memiliki uang banyak. Kadang kadang aku iri dengan lelaki yang bebas, melajang, terbang ke sana ke mari tanpa beban. Tanpa himpitan dan tuntutan sosial 'segeralah menikah'. Bagaimana dunia ini bisa sepicik itu?.

"Nanti kalau bayimu lahir, tolong kabari aku ya. Aku mau menyambut keponakanku yang lucu"

Aku mengangguk, tetapi bukan berarti berjanji. Mengabari berarti mengizinkannya datang. Mengabari berarti memperkenalkan lelaki ini dengan putriku. Mengabari sama artinya dengan memberi kesempatan untuk mengenal lebih jauh.

"Aku pamit, jaga kesehatan. Buku buku dongengnya sudah aku tata di lemari bacamu. Semoga sudah sesuai"

Lelaki ini bangkit. Aku bersusah payah mengikuti geraknya. Melepaskan punggungnya untuk tenggelam di balik kemudi mobilnya yang tadi digunakan untuk mengantarku. Aku bahkan tak sempat bertanya dia akan langsung kembali bekerja atau menginap di mana.

Debu beterbangan dari bekas ban mobilnya, sosoknya lenyap di belokan. Pintu kembali ku tutup. Hati juga sama, kukunci rapat rapat seperti yang seharusnya.

-

Setiap perpisahan akan berjodoh dengan pertemuan. Hari ini Renjana melahirkanku untuk menjadi seorang ibu yang utuh. Tak bisa kugambarkan dengan jelas ketika rasa sakit, rasa penasaran, rasa marah, sisa sisa rasa dicampakkan, ataupun rasa 'ingin semua ini segera terlewati' berkumpul menjadi satu. Renjana harus diputus dengan selang nutrisinya, memisahkan tubuh kami berdua.

Dia menangis, tangisan pertama. Susah payah aku melafalkan lirik adzan yang kupelajari berminggu minggu. Aku adalah ibunya, sekaligus ayahnya. Aku adalah penanggung jawab tubuhnya, juga jiwanya.

Detik ini ketika ia kupeluk dengan segenap sisa sisa kekuatanku, aku teringat seorang lelaki yang menawarkan diri untuk dikabari. Satu satunya lelaki yang tak pernah meninggalkanku. Laki laki yang kemunculannya selalu tiba tiba dan tak terduga. Laki laki itu adalah satu satunya lelaki yang tak meminta tubuhku. Aku meminta pada diriku sendiri, untuk kali ini saja. Aku mengalah dengan ego, kulepaskan sedikit.

"Suster, boleh minta tolong ambilakan ponsel saya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun