Jika nanti kau punya kekasih baru, aku bersedia mengenalnya, bahkan menganggapnya sebagai saudara.
Aku juga akan meluangkan waktu, jika suatu hari kalian bertengkar dan dia butuh teman untuk sekedar bercerita.
Aku akan mendengarkan semua kata yang keluar dari mulutnya, jika dekat pasti akan kupeluk dia, merapikan anak anak rambutnya yang basah oleh air mata.
Aku akan katakan, sehebat apapun kalian bertengkar, saling mencaci maki, sekuat apapun kalian saling membenci, 'kau' pasti akan kembali.
Aku bersedia menjadi tempat yang kekasihmu cari untuk mendapatkan ketenangan dan kelembutan hati seorang perempuan.
Aku bersedia menyisihkan uangku untuk mentraktirnya secangkir kopi sebagai pelengkap cerita kami berdua tentangmu.
Aku bersedia, dengan kedua tanganku yang jauh dari sempurna, dengan hatiku yang tak jua cukup, aku bersedia menjadi teman perempuannya yang paling mengerti.
Tapi, sesungguhnya aku begitu benci jika semua itu benar benar terjadi.
Kenapa tak kau saja yang menjadi temanku, kekasihku, tempatku berkeluh kesah akan lelahnya amukan dunia?
Kenapa tak kau saja yang menemaniku menghabiskan senja di kota ini dengan segelas latte panas yang kita sembari bercerita kesana kemari dan saling menggenggam jemari?
Kenapa tak kau saja yang aku peluk ketika kau merasa berada di titik terendah? Kenapa bukan kamu yang menemaniku sepanjang hidup?