Udara dingin Solo memeluk. Masih pukul dua pagi. Kakiku berhenti sejenak. Menggigil kecil, ini adalah kali pertamaku menempuh perjalanan pajang Malang Solo menggunakan kereta api.
'Apakah dia benar benar menjemputku?'
Aku terus melangkah, melewati peron stasiun. Menyeret koper besar dengan terseok seok, kunyalakan ponsel. Sebuah panggilan menyergap membuatku gagap.
"Balik badan, arah jam empat"
Pelan kuputar tubuhku. Seorang lelaki berdiri di sana. Melempar senyum, menuai tangis di ujung mataku.
Selagi dia berjalan ke arahku, aku bersiap untuk tak terlihat cukup menyedihkan di matanya.
Tapi tak urung tangisku pecah jua, bersaing dengan aroma embun Stasiun Balapan.
"Hay, selamat datang" katanya pelan. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk tidak memeluknya.
"Kenapa lama sekali?" keluhku. Dia usap punggungku hingga bahu. Menciumi tengkukku yang masih menggigil.
"Maaf" jawabnya.
Sebuah kalimat ringan di tempo hari tak kusangka ditanggapi dengan serius. Dua bulan kami berpisah dan sibuk dengan ego masing masing dapat luruh dengan keinginannya untuk 'pulang'. Persepsi tentang 'jarak akan memudarkan sebuah rasa' telah kubunuh paksa. Karena pada dasarnya yang terpenting adalah 'orangnya', bukan jaraknya. Dia kembali, menawarkan untuk mencintaiku mulai dari awal. Seperti yang dulu dulu.