Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dewi Hagnyanawati

16 September 2018   11:00 Diperbarui: 16 September 2018   11:50 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak boleh membenarkan perasaan ini.

Memijit-mijit tumitku yang sedikit sakit oleh siksaan sepatu, aku berusaha untuk tetap berpusat pada sepasang mata yang akan mengawasiku sepanjang hidup. Sepasang sorot tajam itu milik Prabu Boma Nara Sara, calon suamiku.

Namun ada geliat lain yang memikat. Seorang lelaki bertubuh jangkung, berkulit putih yang sedari tadi terlihat gelisah di belakang Sang Prabu. Ketika mata kami bertemu, aku merasa dia menularkan energi yang tidak dapat kucegak. Masuk ke dalam sukma. Menembus dan merasuk dalam jutaan sel, mengikuti aliran darah. Membuatku untuk sekian detik kehilangan nalar bahwa sebentar lagi aku akan dipersunting oleh kakaknya. Lelaki itu menunduk setelah mata kami bertatapan cukup lama, mengisyaratkan untuk beristirahat sebelum aku dan dia terlalu jauh bertemu dalam ruang imajinasi yang memabukkan.

Besok adalah hari dimana aku dan Sang Prabu menjadi raja dan ratu sehari. Berbagai prosesi dijelaskan oleh seseorang yang kini sedang ada dihadapan kami. Jemariku digenggam erat oleh Sang Prabu. Matanya sesekali mengerling dan bibirnya yang terpahat di bawah kumis ditarik untuk tersenyum. Namun aku sungguh tak dapat menolak bayangan di belakangnya, lelaki yang sedari tadi menunduk menghindari tatapanku.

Hingga Sang Prabu berpamitan dan mengecup punggung tanganku aku tak dapat sekalipun menemukan lagi mata lelaki itu. Dia terus mengalihkan pandangan dan kemudian lenyap ke dalam kereta yang membawanya pergi ke Parang Garuda.

"Aku pergi dulu ya Calon istriku, jaga diri baik baik" kata Sang Prabu sebelum ia melangkah menuju kendaraannya. Aku mengangguk, juga tak menolak saat ia kecup dahiku.

Pikiranku penuh oleh lelaki yang mengawasiku dari balik kereta, Radyan Samba.

-

Aku benar benar kehilangan keinginan seonggok daging yang kini siap melumatku di atas ranjang. Pikiranku mengembara pada Radyan Samba. Tidak ada setitik pun niatku untuk kemudian bercinta dengan Sang Prabu yang kini menjadi suamiku.

"Dik" panggilnya dengan napas yang memburu. Menyentuh leherku dengan bibirnya lalu menjalarkan tangannya pada tubuhku. Untuk sesaat aku mencoba untuk tahan namun kemudian aku berusaha sekuat tenaga untuk mendorongnya.

Sang Prabu kaget. Masih dengan keberaniannya sebagai seorang suami untuk berusaha membujukku lewat rayuan dan kata kata manis. Tangannya terus mencoba untuk meraihku. Namun aku sudah tidak dapat menguasai akalku sendiri, yang terbayang hanyalah Radyan Samba.

"Hagnyawati pujaanku, adakah yang kurang berkenan di hatimu hingga kau buang aku seperti ini?" Sang Prabu mulai menitikkan air mata ketika aku mengenakan kembali bajuku yang awut awutan. Sungguh aku kehilangan selera untuksekedar memeluk tubuhnya yang masih telanjang. Ini adalah malam pertama yang paling jahanam, bagaimana mungkin aku menolak keinginan suamiku sendiri?

Semakin ringan Sang Prabu mengais perhatianku aku malah semakin muak. Dalam bilik ini aku hanya melihat wajah Radyan Samba dan mencoba mengira ira wangi tubuhnya. Aku hanya bisa mendengar suaranya yang sayup sayup mamanggilku dari jauh, menyuruhku menjauhi kakaknya, suamiku.

"Buatkan aku jalan yang menghubungkan Traju Trisna dengan jalan ke wilayah rumahku" kataku dengan cepat. Aku tidak ingin terlalu terjebak dalam ketidakinginan yang memabukkan. Sang Prabu terkejut, mengeryitkan keningnya kemudian mengatakan bahwa itu adalah hal yang sangat mustahil karena akan menerjang wilayah Astana Gada Madana dimana arwah para leluhur disemayamkan.

Aku sungguh tidak peduli dengan alasan apapun.

"Lakukan apa yang aku mau jika kamu benar benar mencintaiku, Prabu" kataku pelan sembari meninggalkan ranjang hingga malam malam selanjutnya. Meninggalkan suamiku yang kelimpungan dengan persyaratan gila yang membuat kami tidak bertemu di malam malam ataupun hari setelahnya.

"Buatkan aku jalan untuk menghubungkan kedua wilayah itu maka kau akan mendapatkan seluruhnya yang kupunya, hakmu" kukatakan hal itu kembali ketika Sang Prabu merajuk untuk persyaratan yang lebih ringan.

Aku hanya mengingat bahwa aku mau peluk yang lain. Peluk Ksatria Parang Garuda yang belum dapat kuindera, Radyan Samba. Rasanya hampir mati jika bayangannya tiba tiba saja hadir tanpa permisi.

Bayangan lelaki itu seperti menari nari di pelupuk mata, setiap saat. Aku sungguh tak bisa berpaling dari keinginan untuk terus memikirkan nafsu gilaku.

-

 "Dewi Hagnyanawati" tubuhnya tergopoh gopoh mengampiriku. Badannya yang tegap ia bungkukkan demi menghindar dari kejaran mata prajurit yang berjaga di sekitar taman. Aku menyambut lelaki ini dengan kecupan pada bibir, leher, hingga matanya.

"Aku merindukanmu Dewi" keluhnya sembari merebahkan kepala pada pangkuanku. Air mataku menetes satu satu. Membayangkan betapa ia harus mengelabui banyak manusia agar bisa menemuiku dengan selamat. Nyawa adalah taruhannya. Aku bahkan juga tidak lagi peduli jika kami tertangkap tangan sedang asyik bermesraan sementara suamiku sedang dibingungkan dengan rencana pembuatan jalan.

Radyan Samba, Ksatria ini memang sangat berani mempertaruhkan nafasnya sendiri.

"Kakangmas sedang tidak ada, kamu bisa menemaniku selama yang kamu mau" bisikku pelan. Kakangmas yang kumaksud adalah Sang Prabu. Entah beliau kemana, aku tidak pernah sempat bertanya tanya.

"Apa kita akan seperti ini terus?" tanyanya kemudian. Meraih tanganku, menciuminya. Kami bernar benar telah dibutakan oleh rasa yang tak terbendung. Pelan kembali kuraih bibirnya dengan bibirku. Aku menggeleng tanda tak mengerti hingga kapan kami akan terlibat pergolakan batin seperti ini.

 "Kemarin aku mendatangi Guna Dewa" dia menarik kepalanya dari pangkuanku. Kutatap matanya yang teduh. Dia mulai bercerita tentang sebuah kutukan yang menjadikan kami terjangkit perasaan terlarang. Bathara Ulam Derma dan Bathara Ulam Dermi adalah dua jiwa yang telah merasuk dalam sukma kami. Sang Guna Dewa adalah seorang guru yang sakti. Saudara tua Radyan Sama itu pasti sudah tahu karena mata batinnya yang telah terbuka oleh rahasia para dewa dewa.

"Jadi Sang Hyang Endra mengutuk kedua Bathara itu karena terlibat percintaan sedarah?" tanyaku dengan keterkejutan yang tak dapat lagi kubendung. Radyan Samba mengangguk kemudian menunduk.

Aku tidak sepenuhnya paham akan cerita yang ini. Tiba tiba kepalaku pening. Ada tubuh Bathara Ulam Dermi yang merasuk dalam sukmaku. Mengontrol segala tindak tandukku hingga kemudian aku menolak mentah mentah kasih sayang suami dan mengejar ngejar sosok Bathara Ulam Derma dalam tubuh Radyan Samba.

"Jadi ini sepenuhnya bukan salah kita, Dewi" lelaki di sampingku berusaha menenangkan. Pikiranku semakin kalut jika mengingat perlakuan Sang Prabu yang begitu baik padaku. Hanya saja aku tidak pernah bisa menghindar dari kendali manusia lain di tubuhku. Ia terus menginginkan Bathara Ulam Derma, ia terus mengejar Radyan Samba.

"Aku akan memperjuangkanmu, Dewiku" katanya pelan. Kupeluk tubuhnya dalam isak tangis. Sedikit menyalahkan kutukan yang membuatku tak bisa terlepas dari aroma Radyan Samba, kekasih hatiku.

Kami terus menyusun strategi di hari hari berikutnya agar tetap bertemu. Mengatur tempat tempat yang mungkin dapat kujadikan pelampiasan rasa rinduku yang bertumpuk tumpuk dan tak pernah habis. Aku semakin tidak bisa mengalah dengan kekuatan Bathara Ulam Dermi dalam tubuhku.

 

Ia semakin haus akan kasih sayang Radyan Samba. Ia semakin kemarau jika tak seharipun menghirup aroma napasnya. Bathara Ulam Dermi semakin menggila di tubuhku, semakin keras kemauannya untuk terus bersanding dengan roh Bathara Ulam Derma dalam sosok Radyan Samba.

Bathara Ulam Dermi dan Bathara Ulam Derma kembali bersatu dalam raga kami. Kami sungguh tak bisa menolak.

-

"Kamu memang perempuan tak tahu diuntung" Sang Prabu memalingkan wajahnya, seolah tak sudi melihat mataku yang telah berderai air mata. Meski sudah lama aku berdiam di kakinya, ia tetap tak bergeming. Kemarahannya memuncak, wajahnya merah padam. Mungkin aku bisa saja dibunuhnya dalam satu kali tebas.

"Aku hanya tidak pernah menyangka jika ini alasanmu meninggalkanku, membuang cinta, bahka mengkhianati sebuah pernikahan suci, kau memang benar benar perempuan tak tahu malu"

Aku menangis dalam sujud di kakinya. Sang Prabu tak mengizinkanku berdiri. Sementara Radyan Samba pun tak bisa berbuat apa apa selain menyesali perbuatannya. Kami sudah tertangkap. Kami tak bisa menghindar dari hukuman.

 "Seharusnya kalian sudah kuhabisi. Tapi ada baiknya aku meminta nasihat. Jangan berharap kalian bisa lolos dari siksaan. Bedebah tetap saja bedebah! Pengkhianat tetap saja pengkhianat!"

Sang Prabu keluar dari ruangan. Menyisakan aku dan Radyan Samba yang masing masing dipegang erat oleh prajurit. Perbuatan kami telah diketahui banyak pihak. Seluruh negeri sudah tahu desas desus perselingkuhan kami.

Dalam hati aku memang tak bisa berontak, aku hanya mencintai Radyan Samba. Tidak yang lain, bahkan jika aku harus mati.

"Bagaimana jika kita dipisahkan?" tanyaku lirih. Aku tak yakin Radyan Samba akan mendengarnya. Namun begitu isyarat matanya berkata bahwa semua akan baik baik saja.

Kami dipisahkan dalam dua sel tahanan yang berbeda, namun berhadapan.

Tiba tiba serombongan prajurit datang. Membuka pintu sel kami berdua kemudian menyuruh kami keluar. Kami digelandang di aula istana. Di sana berdiri suamiku, Sang Prabu. Menanti kami dengan tangan yang disilangkan di atas perut. Kami berlutut di hadapannya.

Sang Prabu memintaku berdiri. Dia sungguh masih memliki hak untuk memelukku karena aku adalah istrinya. Sedangkan Radyan Samba tak lain hanyalah seorang perebut istri orang, istri kakaknya sendiri. Namun begitu Sang Prabu memintanya untuk ikut berdiri, beliau memeluknya. Memeluk tubuh adik laki lakinya, tak ada dendam, tak ada tikaman.

"Menikahlah, kalian saling mencintai" katanya.

Aku tertegun, takjub pada kalimat yang meluncur dari bibirnya. Akankah ini mimpi? Bahkan aku telah mengkhianati kepercayaan yang beliau berikan padaku. Kini malah terbuka jalan yang terang benderang.

 "Menikahlah, Ayah kita sudah setuju. Toh aku juga belum menyentuh Dewi sama sekali. Dia milikmu, rawat dan jagalah" katanya pada Radyan Samba. Sang Prabu tersenyum kepadaku, mengizinkanku untuk memilih jalan yang akan kutempuh.

Kupeluk Radyan Samba, tak habis rasa terimakasihku pada Sang Prabu. Aku tak bisa berkata kata selain mengucapkan terimakasih. Bahkan Sang Prabu bersedia mengantar kami dari Dwarawati ke Traju Trisna, pulang.

"Nanti kita mengendari Wilmana, kalian jangan khawatir" kata Sang Prabu.

Aku mencicil bahagia, restu sudah di tangan. Radyan Samba sudah sah dalam pelukanku.

-

"Jadi kamu membiarkan adikmu menikah dengan seorang pelacur, Prabu?" tiba tiba terdengar suara dari dalam mesin kendaraan yang kami tunggangi. Aku dan Radyan Samba berpandangan. Sesungguhnya tida terlalu heran menyaksikan kendaraan canggih seperti Wilmana ini dapat bicara, namun haruskah benda ini bertanya selancang itu?.

Sang Prabu diam. Tidak ada tanda tanda apapun. Aku hanya menunduk. Radyan Samba membisu. Wilmana terus melaju menembus awan awan hingga jauh tinggi.

"Prabu, apa yang membuatku masih terus berbaik hati dengan seorang pengkhianat? Bukankah mereka sudah sama sama bejat?" lagi lagi terdengar pertanyaan yang membuatku merasa tertusuk.

 "Prabu ini seorang raja. Kok ya mau maunya dibodohi dengan sikap mereka. Jangan jangan mereka memang telah berhubungan sebelum ini. Hmmm begitu menyedihkan kisah cinta Sampeyan"

Wajah Sang Prabu merah padam menahan amarahnya yang memuncak.

Sang Prabu menyerang Radyan Samba. Aku dengan sekuat tenaga mencegah pertikaian mereka. Namun Wilmana terus mengumandangkan kalimat kalimat keji hingga Sang Prabu menghabisi nyawa Radyan Samba di hadapanku.

"Pabu, kau..."

Kalimatku tak pernah selesai. Bathara Ulam Dermi mendadak keluar dari ragaku. Ia mencari cari kekasihnya, Bathara Ulam Derma. Tubuhku dan tubuh Radyan Samba mungkin boleh terpisah pisah. Namun cinta kami berdua akan tetap mengudara.Kami berdua boleh jadi mati di tangan orang yang sama, namun tak satu pun manusia di dunia ini yang sanggup memisahkanku dengan kekasihku, Radyan Samba.

*Di akhir cerita, Dewi Hagnyanawati dan Radyan Samba mati dimutilasi oleh Prabu Boma Nara Sura.

Bogor

23.37

Thursday

22 Agust 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun