Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ulang Tahun Pernikahan

19 Juli 2018   15:30 Diperbarui: 19 Juli 2018   15:30 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

            "Jaga baik baik martabatmu sebagai perempuan. Kita tetap bisa hidup dengan atau tanpa lelaki. Namun, hidup akan terasa lebih sempurna jika kita bisa saling membagi kasih. Saling menyayangi. Hidup bukan hanya perkara besok mau makan apa. Ketika kamu sudah menikah, ada banyak hal yang harus kalian hadapi bersama, berdua, berpegang eratlah. Jaga baik baik kekasihmu" kata ibu, mengakhiri kalimatnya dan segera menyambar piringku yang telah kosong.

Aku gamang. Pikiranku merambat  ke mana mana. Fahmi memang telah berencana menikahiku, entah kapan waktunya. Namun, jika pernikahan hanya perihal menjemput bahagia, tak bisakah kita menciptakannya sendiri. Saat ini aku hanya punya ibu yang menjadi tempatku berkeluh kesah. Aku hanya memiliki satu tempat bernaung. Tak bisakah aku berbahagia dengan satu hal yang kupunya? Hanya aku dan ibu, tidak dicampuri dengan urusan yang lain seperti halnya pernikahan.

Ibu membereskan semuanya. Menata segalanya. Aku tahu betapa sempurnanya ibu sebagai seorang wanita. Dan wanita seperti ibu, masih saja ditinggalkan.

            "Pas" lelaki ini tersenyum, lesung pipinya mengajakku untuk ikut tersenyum. Dia remas jemariku. Dia membayar benda yang melingkar di jari manisku. Kami melangkah keluar. Kugandeng tangannya. Kami meluncur ke sebuah rumah yang aku belum pernah mengunjunginya.

            "Aku nggak perlu bilang sama Mama. Soalnya Mama pernah bilang kalau nanti langsung menikah saja, tidak perlu acara pertunangan. Mama sudah lihat fotomu, dia suka. Katanya kamu kelihatan manis dan cerdas. Mama suka baca puisi puisimu, dia bilang kamu orang yang dinamis" katanya sembari asyik memegang kemudi. Aku diam, tersenyum. Kucegah bibirku untuk menyahut macam macam. Aku lebih banyak menunduk. Menjinakkan pikiran pikiranku sendiri. Aku didera cemas dan kegelisahaan yang tak berkesudahan. Semua bermuara pada rencana pernikahanku dengan Fahmi yang kian dekat. Menikah sama saja dengan menambah pundi pundi kebahagiaan. Sayangnya, hal itu juga mungkin saja memotong jalur bahagia yang lain. Aku harus meninggalkan ibu, misalnya.

Kami sampai di senuah rumah dengan arsitektur Belanda. Aku tahu jika di kawasan ini memang tempat bagi rumah rumah kuno yang hanya bisa dimiliki oleh orang orang berkantung tebal ataupun pejabat. Memasuki halamanya, aku merasa amat berat melangkah. Lelaki ini meraih jemariku, menggenggamnya erat dan menciumnya sekali. Dia elus rambutku, dia bilang jangan takut.

Kami disambut oleh seorang perempuan cantik berkebaya ungu. Aku tertegun. Kupandangi dari sanggul hingga selop hitam yang ia kenakan. Kulihat senyumnya yang amat familiar. Tubuhku mengeras, lidahku kelu. Dunia serasa berhenti berputar. Kutampik tangannya, aku menghambur keluar. Tangisku meledak.

Perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang sering bapak temui diam diam, tujuh tahun yang lalu.

-

Bogor

Saturday 13.34

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun