"Selesaikan dulu skripsimu."
"Bagaimana denganmu menghidupi dia? Pekerjaan?"
"Kamu yakin akan tinggal bersama kami? Diawasi setiap hari?"
"Rama, kamu masih dua puluh satu tahun."
Aku tahu Mama hampir menangis saat itu. Beliau memeluk Papa. Aku masih menggenggam tangan pacarku yang pandangan matanya terus saja tertuju pada sudut ruangan. Sebuah galon biru yang duduk manis di sana.
Kuperkuat argumenku dengan mengatakan kembali kebaikan apa yang dia berikan padaku semasa KKN di pedalaman. Aku sakit, teman-teman tiada yang mampu menolong karena data yang dicari bersifat individu. Aku pasrah ketika harus terbaring lemah di atas dipan reyot pada sebuah bilik milik warga setempat.
Gadis ini, dengan sigap mengurusku hingga berhari hari. Mengantarku ke mana-mana tempat yang kuinginkan. Hingga pada akhirnya aku sembuh, tentunya dengan banyak mantra-mantra dan peluk cium yang ia berikan. Sesuatu yang selalu dilakukan Mama ketika aku sedang menderita sakit apa saja.
"Mama dan Papa selalu ngasih apa yang aku minta bukan? Tapi aku tahu kalau aku tidak akan diberi jika meminta baik baik. Aku mau menikah, Ma Pa."
Papa berdiri, Mama menangis. Sebelum beliau mendaratkan tamparannya ke pipiku, kuberanikan diri mengatakan dengan lirih satu kalimat yang kusimpan erat erat di kerongkongan.
"Pa, dia mengandung anakku. Calon cucu Papa."
Tangan Papa kembali turun. Beliau memeluk Mama.