Aku tidak mengerti kegilaan macam apa yang dimiliki pacarku untuk tipe yang satu ini. Dia adalah pacarku yang nomor sepuluh. Namun justru dialah yang kurasa paling baik di antara pacar-pacarku sebelumnya.
Terbiasa dengan kehidupan sederhana di kampung membuatnya tidak pernah merasakan bagaimana sejuknya air dari dalam galon. Ketika aku memboyongnya dari gubuk tua tempat ia tinggal menuju ke kota, menemui orang tuaku, dia dikejutkan oleh suatu suara gelembung yang dari dalam galon.
Ajaib, dia menyukainya.
Ini jauh lebih mudah dibandingkan pacar-pacarku sebelumnya, tanpa perlu kejutan macam-macam, tanpa perlu boneka yang lucu-lucu, tanpa perlu pancake di hari minggu.
Dia menatapi benda itu sejak terdengar bunyi gelembung. Matanya yang bening tak mau beralih pandangan ke objek lainnya. Kukatakan padanya bahwa nanti kita akan tinggal serumah dengan benda yang serupa. Dia kemudian menatapku takjub, bergembira dengan janji yang kuberi.
Kuusap tetesan keringat dari leherku. Aku canggung luar biasa saat in. Bagaimana mungkin kemudian aku diberi restu jika calon yang kubawa bertipe seperti ini?
Lalu dengan susah payah aku mengatakan pada Papa Mama.
"Ma, di rumahnya alat seperti itu belum ada," kataku pelan, masih dengan menggenggam jemari lentik kekasihku. Bukan apa apa, aku takut dia lepas kontrol dan kembali menatap lama lama galon yang sedari tadi diam.
Papa dan Mama hanya terbengong bengong. Mama menggeleng sinis, Papa berulang kali berdehem, menurun naikkan letak kacamata tebalnya.
Kubilang lagi bahwa dia adalah tipe istri ideal. Cantik, penurut, pintar memasak, bisa bercocok tanam, mampu merawat siapa pun yang sakit, bahkan dia bisa mengurusi kolam ikan Papa di belakang rumah. Maka aku memohon mohon untuk menikahinya, membuat Papa dan Mama dengan kompak berteriak '"Tidak!".
"Masih banyak perempuan lain."