"Kang Kasman, Nilam Kang, Nilam!!" Utut berlari terengah-engah menuju kerumunan orang di pagi itu. Kang Kasman bangkit, meloncat dari tempat duduknya. Kopinya hampir tumpah, goyang dari semula ia diletakkan.
"Kenapa dengan Nilam?" tanyanya. Utut, lelaki berperawakan kurus dengan balutan kulit coklatnya yang keling ditimpa cahaya pagi gemetar. Memeluk tubuh kekar pamannya, mengundang mulut orang orang untuk menganga.
"Maafkansya Kang, dia lari ke danau. Mungkin semalam, sekarang saya lihat dia mengapung di dekat sampan Lik Sunar".
Plak!! Tamparan mendarat di pipi bocah yang masih kelas dua SMA itu. Kang Kasman berlari menuju waduk, diikuti yang lainnya yang sibuk menenangkan. Sebagian menolong Utut yang terhuyung. Masih gemetar seluruh tubuhnya, takut
Kabar Nilam yang ati mengenaskan sedemikian cepatnya beredar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa gadis manis itu telah lama sakit. Mengurung dirinya di kamar, gagal kawin dua tahun lalu akibat kekasihnya telah lebih dahulu berpulang. Tak lain tak bukan karena dimakan tumbal waduk, hingga sekarang tak diketahui siapa yang memasangnya. Gadis itu sedemikian terpukulnya hingga setengah gila. Jika purnama tiba dia menangis sejadi jadinya, meminta duduk di sampan menikamati bulan yang merekah. Mengenang kekasihnya yang telah tiada.
      "Maafkan saya Kang" masih sempat Utut berlutut di depan pamannya setelah upacara penguburan Nilam. Ini bukan salah Utut sepenuhnya, dia hanya penjaga. Mungkin sudah menjadi suratan hingga malam itu Nilam terlepas. Masih jauh dari tanggal bulan purnama, Nilam ingin mengenang kekasihnya lebih cepat dari biasanya.
Atau lebih cepatnya menyusul kekasihnya, pergi.
Peristiwa itu semakin mengentalkan ritual bapak bapak di desa untuk terus berkumpul selepas magrib, membahas, berdiskusi, menghakimi dan melancarkan sumpah serapah bagi mereka yang telah mengotori waduk. Mereka menghabiskan uang sisa panen untuk menghidupkan malam di tempat itu. Semakin lama muncul tradisi baru. Mereka telah bosan hanya dengan bergalon galon kopi.
Malam malam setelahnya, mereka diam diam merogoh kartu remi. Memainkan judi yang lama tak mereka acarakan. Menunggu purnama purnama selanjutnya.
      "Mari kita lihat sikap si Darto" Lik Agus berbicara dengan berapi api. Setelah acara tujuh hari di kediaman Kang Kasman, sebuah mobil mewah terparkir secara tiba tiba di halaman rumahnya. Memperkenalkan diri, dia bilang berasal dari kota yang cukup jauh. Datang hanya untuk menghaturkan bela sungkawa atas kematian istri dan anaknya yang tewas tenggelam. Mengaku pernah ditolong anaknya ketika mereka satu wilayah tempat tinggal, padahal Lik Agus ingat betul anaknya tak pernah merantau di kota yang sama dengan tamu itu
      "Kalau sampai dia masih mengizinkan itu orang orang mancing ke waduk, kita tebas lehernya".