Mohon tunggu...
Esti Setyowati
Esti Setyowati Mohon Tunggu... Seniman - Bismillah

Librocubicularist.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Pemuda dan Hari Buruh

1 Mei 2018   15:57 Diperbarui: 1 Mei 2018   18:04 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebuah persepektif calon buruh yang tak jadi)

Ada satu ingatan yang melekat dalam pikiran alam bawah sadar saya tentang kata 'buruh'. Saya menarik ke masa masa silam, dimana saya dilahirkan dari keluarga sederhana namun menjalani masa pendidikan dalam batas normal dan urut seperti SD, SMP SMA. Problematika itu hadir ketika selepas SMA saya sejatinya tidak diperbolehkan melanjutkan ke perguruan tinggi, saya harus menjadi buruh.

Kata orang tua saya kala itu biaya tak cukup untuk memenuhi kehausan saya oleh ilmu. Saya mau tidak mau, suka tidak suka harus ikut dengan 'jejak karir' teman teman di desa yang sudah terlebih dahulu memasuki dunia kerja. Dunia kerja yang cukup kasar. Merasakan harum hingga pengapnya dunia pabrik dan industri yang amat jauh dari dunia saya (pensil dan kertas). 

Ngeri saya membayangkan betapa tersiksanya masa muda yang dihabiskan dengan bunyi bunyian mesin dan alat alat yang pasti masih terasa asing. Juga bentakan bentakan atasan yang tak terhindarkan. Itu yang saya pikirkan setiap detik di hari hari saya yang mencekan, sebelum pengumuman jalur masuk universitas lewat nilai rapor yang diam diam saya jalani tanpa meminta restu orang tua.

Orang tua inginkan saya mencari nafkah lebih cepat, selepas sekolah menengah atas. Seperti teman teman di desa saya yang lain yang mungkin setiap lebaran sudah bisa berganti ganti model sepatu. Tetapi Tuhan berkata lain, saya belum bisa memenuhi permintaan orang tua untk menjadi buruh pabrik, saya memilih untuk berjuang menjadi buruh dalam konteks yang lain. Sebagai buruh yang tugas tugasnya berceceran di depan monitor, Pekerja Teks Komersial.

Saya tidak pernah menyesal untuk menyentuh dunia kerja lebih lambat. Jemari saya selalu mendoa untuk teman teman saya yang masa masa muda selepas sekolah menengah atasnya dihabiskan untuk melayani kebutuhan masyarakat luas. Semoga mereka tetap menjadi magnet magnet bernyawa yang dapat mengundang orang lain untuk terus bersyukur. 

Selamat Hari Buruh. Semoga akan selalu ada hari hari ke depan yang lebih baik demi kesejahteraan. Peluh dan lelah akan berbuah pahala, kontribusi pada negara kalian sungguh nyata.

Selamat Hari Buruh Internasional.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun