“Agus Harimurti partai nya apa?” Pernyataan Ruhut Sitompul ini menuai polemik, yang disusul dengan penonaktifannya sebagai Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan DPP Partai Demokrat. Terlepas dari sosok (terutama statement) seorang Ruhut yang cenderung kontroversial, pernyataan ini sebetulnya mewakili perseteruan antara mekanisme politik prosedural dan non procedural termasuk precedence dalam kontestasi pilkada Jakarta. James J. Fox mengatakan sebuah precedence terkait pada “the condition of being considered more important than someone or something else; priority in importance, order, or rank” (Fox, 2009). Dalam discourse ini Fox menyebutkan precedence itu “strategis” jika dibangun atas adanya kategori yang tidak simetris, recursive complementary yang berupa pengulangan untuk meneguhkan klaim tersebut, serta (the possibility of) category reversal yang terlihat dengan adanya peluang politis dalam kontestasi tertentu.
Dalam politik kepartai-an, Demokrat misalnya, kategori asimetris ini dibangun bersama dan sejalan dengan kaderisasi internal sekaligus “sepak terjang” masing-masing kader di pentas politik eksternal, yang kemudian melalui mekanisme ini kader-kader dipisahkan dan dikategorikan dalam regenerasi kekuasaan partai. Sebagian kecil dari sejumlah besar kader partai diposisikan asimetris/tidak sama dengan yang lain, yang kemudian memberikan hak keutamaan padanya, pendahuluan, klaim dan seterusnya, atas yang lain. Namun politik dinamis, meskipun idealnya sistem politik dan struktur politik harus berjalan seperti itu, precedence Cikeas ternyata mengalahkan regenerasi politik internal partai demokrat. Kekuatan Cikeas dalam hal ini menjadi klaim yang mengalahkan berbagai konsolidasi kuasa dan kelayakan lain oleh kader-kader partai secara internal. Agus, sebagaimana kata Ruhut -seorang yang bukan kader partai- kemudian muncul sebagai keutamaan itu, sebagai calon yang diusung dalam kontestasi pilkada DKI. Precedence Cikeas bermain disini.
Pada saat yang sama kemunculan (dimunculkannya) Agus sebagai kontestan dan panglima dalam kontestasi di Jakarta, dilihat dalam kaca mata Fox sebagai upaya “penegasan atas klaim” tersebut. Hitungan-hitungan realistik politis barangkali tidak menjadi terlalu penting, sementara ini. Meskipun kita mesti juga sadar suatu hitungan politik jangka panjang dan lebih besar, sedang disiapkan. Secara pragmatis yang lebih penting adalah, adanya penegasan, pengulangan atas, serta melengkapi superioritas dan keutamaan yang telah ada. Dengan begini Precedence Cikeas dalam politik nasional ditegaskan. Superioritas ini yang kemudian ingin di tampilkan, dan dikukuhkan kehadapan kontestan lain, bahwa “Cikeas masih ada”. Pesan ini tentu saja disasarkan baik kepada kader-kader di dalam partai juga kepada kekuatan-kekuatan politik lain di tingkat nasional.
Komponen-komponen penting yang terkonsolidasi di Cikeas, baik dari ketokohan Nasional SBY, sebagai petinggi partai Demokrat, dan sumberdaya Cikeas lain yang dimiliki, apakah itu uang dan lain seterusnya, menyebabkan peluang untuk pengukuhan keutamaan Cikeas sangat dimungkinkan dilakukan. Pilkada DKI adalah peluang politis itu, dimana –kalaupun ada yang beranggapan Partai Demokrat dan kemudian Cikeas dalam waktu belakangan mengalami degradasi bargain-nya dalam konstalasi politik Nasional- peneguhan kembali itu dimungkinkan untuk dilakukan. Dan, sekali lagi, dia adalah momentum awal untuk agenda-agenda besar selanjutnya.
Partai Demokrat, sebagai “partai modern” pastinya mengikuti proses kaderisasi dalam dinamika politik partai secara internal, namun yang menjadi sanggahan Ruhut adalah sebenarnya, digunakannya precedence lain dalam penentuan dalam kontestasi politik demokrat dalam pilkada DKI. “Keutamaan Cikeas’ mengalahkan klaim-klaim lain dalam proses kaderisasi kekuasan di dalam internal partai Demokrat.
James Fox, banyak melakukan kajian antropologi politik dalam konteks lokal di masyarakat-masyarakat Austronesia (terutama bagian timur Indonesia). Ia menemukan precedence dalam konteks lokal dipertandingkan dalam perebutan keutamaan politik di dalam masyarakat atas basis pengukuhan struktur asali (origin struktur), mitos, dan keutamaan silsilah, yang sebetulnya argumen-argumen ini bertentangan dengan logika politik modern. Dimunculkannya Agus Harimurti membuktikan sekaligus menantang Demokrat dan koalisi atas idealisme partai yang dianggap demokratis. Namun dalam praktek politik di dalam masyarakat yang sedang mengalami proses transisi, partai memang “dipaksa” bermain antara idealisme demokratis secara normative dan permainan-permainan lain secara pragmatis. Di sinilah partai akan terus berdinamika dan bergulat dengan perkembangan jaman. Bagaimana idealisme partai harus diusung dan ditampakkan dan bagaimana permainan-permainan praktis akan dibungkus dan secara tampak tidak melewati batas-batas kesepakatan para aktor yang terlibat di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H