"Alhamdulillah, program Minang Mart sudah diresmikan untuk kebangkitan ekonomi masyarakat," kata Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Selasa 24 Mei 2016, dalam acara resmi peluncuran program tersebut di Padang.
Irwan Prayitno menjelaskan bahwa Minang Mart merupakan program 1000 kedai modern yang melibatkan tiga BUMD (PT Grafika, Bank Nagari dan Jamkrida) dengan membeli hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan kerajinan masyarakat untuk dipasok kepada pedagang, yang kemudian dijual kembali ke konsumen.
PT Grafika bertugas mengelola atau membeli barang sekaligus memasok ke pedagang, sementara Bank Nagari memberikan suntikan pinjaman dana bagi pedagang yang membutuhkan penambahan modal. Sedangkan Jamkrida berfungsi untuk menjamin pedagang mendapatkan kredit jika tidak memiliki agunan.
Minang Mart sendiri digadang-gadang sebagai anti-tesis dari maraknya bisnis ritel sebangsa alfa mart dan indomaret di berbagai daerah di Indonesia. Program ini merangkul pengusaha-pengusaha yang sudah eksis ditingkat bawah untuk bergabung, mendapatkan bantuan pinjaman berbunga rendah, branding dengan menggunakan nama kekinian, mendapatkan pembinaan guna meningkatkan pelayanan dan kenyamanan pembeli. Program yang masih dipertanyakan oleh sebagian besar fraksi di DPRD dan kalangan Sumbar ini bagaimanapun sudah membuka pendaftaran bagi toko-toko yang berminat untuk bergabung (industri.bisnis.com).
Agak sedikit membingungkan sebenarnya melihat kontradiksi yang dimainkan oleh pemerintah provinsi terkait program warung modern ini. Disatu sisi Gubernur berusaha membendung masuknya ritel-ritel kelas kakap ke Sumbar, disaat yang bersamaan, ada kecenderungan memanfaatkan kekosongan ekspansi modal luar tersebut dengan memainkan dan memakai substansi ekonomi yang relatif sama. Argumen ini sudah disangkal dibeberapa kesempatan oleh Irwan, yang menekankan program ini sebagai bentuk “konsolidasi”. Tidak seperti bisnis waralaba lainnya, program ini adalah untuk menghidupkan ekonomi kerakyatan, demikian pembelaannya. Tapi sayang nya itu tidak cukup. Jargon berbeda yang ditawarkan berbau makna yang sama saja, kita sama sekali tidak disodorkan penjelasan yang masuk akal dan mencerahkan. Sementara ini kita bisa berasumsi Minang Mart tidak lebih dari bisnis murni, yang mencoba merintis dan menguasai jaring distribusi baru barang-barang di Sumbar, dan sangat premature jika dikatakan akan membantu ekonomi masyarakat Sumbar.
Penjelasannya adalah pada bagaimana ekonomi masyarakat bisa meningkat melalui sebuah program yang menambah “pemain” baru di pasar? Jika kita bicara masyarakat Sumbar, sebagaimana dimana saja, setidaknya ada tiga segmen masyarakat yang berperan dalam aktifitas ekonomi atau pasar. Pertama masyarakat produsen yang adalah petani, pengrajin, nelayan. Kedua adalah konsumen yang menerima barang dari peran yang dimainkan segmen masyarakat ketiga, penyalur/pedagang, baik yang berskala besar hingga pedagang kecil dan eceran. Sekarang kita mesti melihat satu-satu, program ini akan membantu segmen masyarakat yang mana sebenarnya?
Saya melihat program ini tidak akan membantu banyak segmen masyarakat pertama, yang adalah produsen, para petani, pekebun, pengrajin dan nelayan. Kenapa, karena program ini tidak berusaha menciptakan pasar yang baru, pun diversity produk. Pasarnya tetap akan berada di Sumatera Barat, yang artinya akan dikonsumsi oleh konsumen yang sama, masyarakat Sumbar. Dengan program ini produsen Sumbar hanya akan memiliki tambahan pilihan, ke-distributor mana akan dijual produk-produk mereka. Dengan demikian disinyalir MM tidak akan sama sekali meningkatkan jumlah produksi dan penjualan hasil bumi produsen-produsen Sumbar dengan signifikan.
Ada pengecualian barangkali, terutama untuk produsen-produsen kecil yang bekerjasama langsung dengan pengelola program. Dengan permintaan yang besar dari pengelola MM dalam rangka mensuplai 1000 pengecer diberbagai daerah, besar kemungkinan kuantitas dan stabilitas penjualan akan didapatkan oleh petani/produsen pilihan tadi. Tapi perlu diingat, PT. Grafika tidak akan mungkin mengambil produk dari seluruh petani nelayan yang ada disumbar. Ini artinya, beberapa produsen akan mendapatkan peluang menjual produk bumi lebih banyak sebagai manfaat dari kerjasama, tapi sebagian yang lain tidak atau berkurang. Petani juga berkemungkinan akan kehilangan pengumpul langganan, sebagai akibat kehilangan mereka atas konsumennya di tingkat pengecer, karena pengecer-pengecer ini sudah di suplay oleh MM, si pendatang baru. Dan juga tidak ada jaminan, bahwa produk-produk yang di distribusikan ke outlet-outlet Minang Mart adalah produk tanah air Sumatera Barat. Ini lebih membahayakan lagi. Kita barangkali sudah mahfum sebagian besar produk-produk konsumsi harian kita sudah digantungkan dengan suplay dari luar daerah, atau luar negeri. Irwan perlu jujur melihat, produk apa yang dihasilkan oleh produsen Sumatera Barat. Jangan sampai ribuan outlet dibuka tetapi konsumen dijajal dengan produk dari luar.
Salah satu cara untuk membantu produsen Sumbar, hemat-nya adalah dengan membuka pasar baru, bukan menjadi pemain baru pada pasar lama yang sudah establis. Artinya, alih-alih menjadi broker produk lokal di rumah sendiri, akan lebih bermakna jika program ekonomi yang diintervensikan membuka pasar produk Sumbar di daerah lain, atau bahkan di luar negeri. Ini baru akan menguntungkan produsen. Dengan membawa hasil bumi Sumbar ke luar provinsi, menjajakannya disana, akan meningkatkan permintaan ke petani yang artinya petani memiliki peluang untuk meningkatkan produksi. Tapi sepertinya Irwan Prayitno dengan MM nya masih senang memanfaatkan pasar lokal dan bersaing dengan anak kamanakan.
Berikutnya Segment masyarakat kedua, konsumen Sumbar. Logika konsumen adalah mendapatkan produk terbaik dengan harga termurah. Pertanyaannya bagaimana ekspektasi konsumen ini akan terpenuhi dengan MM? Bagaimana program ini memberikan produk terbaik dengan harga termurah kepada konsumen? Untuk bisa menyediakan produk terbaik, program perlu merogoh kocek lebih tentunya karena barang bagus normalnya tak pernah dibeli murah. Konsekuensinya konsumen juga harus menanggung harga ini, mereka harus dapatkan produk baik dengan harga juga tinggi. Kecuali, program, dengan berbagai cara, menekan modal pembelian dengan konsekuensi konsumen ditawarkan produk murahan. Logika dagang Minang Mart dengan memberikan produk baik dengan harga murah sejauh ini tidak menemukan pembenarannya. Menarik juga jika ada sarjana-sarjana memberikan pandangan terhadap perilaku konsumen Sumbar, apakah layanan, kemasan, pasar/toko yang “layak”, “nyaman" dan barangkali “bersih” sudah betul-betul menjadi kebutuhan konsumen sumbar hari ini, sehingga mereka mau menukar kelebihan-kelebihan pasar modern ini dengan membeli barang buruk, atau kurang lebih sama, dengan harga yang lebih tinggi. Kita lihat saja bagaimana pasar-pasar tradisional masih memainkan peran penting di daerah-daerah. Aspek-aspek tradisi sosiologis dan antropologis masih menjadi pilihan yang belum akan ditinggalkan sepertinya.
Tentu akan ideal bagi produsen dan konsumen, jika pengelola Minang Mart mampu membeli harga terbaik kepada petani dan menjualnya dengan harga terendah kepada konsumen. Tapi tidakkah itu terdengar sumbang jika bicara tentang pedagang dan berdagang? Perlu diingat pengelola sendiri adalah PT. Grafika, sebuah perusahaan yang kabarnya masih perlu membuktikan mampu memberikan deviden bagi daerah, mereka butuh untung.