Melalui Tap MPR XXV/1966, Â PKI sebagai Partai Politik dinyatakan dibubarkan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi yang diklaim sebagai ideologi PKI dinyatakan sebagai ideologi terlarang.
Implikasi dari Tap MPR XXV/1966 adalah ;pelarangan penyebaran faham Komunisme/Marxisme-Leninisme. Dan sejak era Orde Baru tampilan visual segala gambar/citra yang berhubungan dengan simbol PKI seperti bendera palu arit serta audio lagu Genjer-Genjer harus segera dienyahkan dari ruang publik. Pihak yang memproduksinya akan berurusan dengan hukum.
Kenapa aparat sedemikian tegas menyangkut hal itu?, sebab Komunisme itu bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sebagai tambahan, trauma akan 'pengkhianatan PKI' yang menimbulkan korban kalangan agama dan nasionalis tak terhapus dari ingatan kolektif keluarga korban.Â
Sebenarnya, kisah sejarah penculikan sejumlah Jenderal Angkatan Darat yang dilakukan pada tanggal 1 Oktober dinihari itu dilakukan oleh PKI atau oleh simpatisan PKI masih perlu dipastikan, karena faktanya yang bergerak di lapangan adalah kesatuan Pengawal Presiden Cakrabhirawa yang juga berasal dari Angkatan Darat. Para penculik Jenderal berdalih mereka menangkap para Jenderal yang tergabung dalam apa yang disebut sebagai 'Dewan Jenderal', yang akan merencanakan kudeta terhadap Presiden. Tokoh yang disebut memimpin gerakan itu juga dari Angkatan Darat yaitu Letkol Untung. PKI sendiri baru terseret-terlibat saat mereka menyatakan mendukung Gerakan Pembersihan 'Dewan jenderal'.
Sejarah memang selalu ditentukan oleh 'pemenang'. Tengok penamaan Gerakan itu sebagai G30S/PKI. Dari sisi waktu saja sudah keliru karena peristiwa penculikan terjadi pada tanggal dinihari 1 Oktober 1965. Penamaan G30S yang jika disebut dengan nama lain dalam singkatan sebagai 'Gestapu'(gerakan september tiga puluh) adalah untuk mendiskreditkan gerakan tersebut. Kata Gestapu mirip-mirip dengan Satuan Paramiliter Nazi Hitler yaitu 'Gestapo'. Jadi dari kerangka waktu, peristiwa penculikan itu lebih tepat disebut 'Gestok' (gerakan 1 Oktober). Penulisan dirangkaikannya G30S dengan ditambah '/PKI' adalah untuk menimbulkan opini ke publik saat itu bahwa PKI lah yang merupakan satu-satunya 'mastermind' kejadian tersebut. Mengingat media setelah 1 Oktober dikuasai oleh Angkatan Darat, maka pembentukan opini berhasil. Dan PKI sungguh sungguh terseret terlibat. Akibatnya mudah ditumpas habis.
Penumpasan PKI selanjutnya merupakan gabungan peristiwa yang sesuai dengan hukum dan juga melanggar hukum. Dalam banyak kasus tanpa lewat pengadilan, hanya dengan tuduhan sudah cukup untuk melakukan eksekusi. Kelompok agama yang gerah saat PKI berkuasa memiliki kesempatan emas untuk membalas dendam. Mereka 'turun kelas' menjadi sama kejamnya dengan PKI. Gerakan main hakim sendiri disponsori oleh tokoh agama. Siapapun yang dituding sebagai PKI atau simpatisan di pedesaan tempat dimana tumbuh subur mendapatkan pengadilan kilat-langsung eksekusi. Sekarang masih banyak kalangan agama dan keturunannya, juga kalangan anak kolong yang mungkin merasa malu dengan tindakan main hakim sendiri itu berusaha menutupi kasus-kasus pembantaian pasca Gestok. Ada tokoh-tokoh yang dituduh simpatisan seperti sastrawan Pramudya Ananta Toer dibuang untuk kerja paksa di Pulau Buru. Pram demikian panggilan sastrawan top ini masih beruntung karena lolos dari eksekusi akibat kurang bukti sebagai anggota PKI. Tapi bagi yang tidak beruntung akan berakhir di kuburan massal tanpa nama atau dibuang dijurang setelah dieksekusi.
Disaat Pemerintahan Jokowi berusaha melakukan rekonsiliasi nasional, masih banyak kalangan agama dari kelompok ataupun keturunan para eksekutor PKI, berusaha menghalanginya. Mereka 'ketakutan' ketahuan bahwa antara PKI yang tak bertuhan dan mereka yang bertuhan adalah sama kejamnya. PKI dituding mengeksekusi banyak pemuka agama, dan sebagai balasannya pasca Gestok pemuka agama menjadi sponsor pembantaian terhadap anggota PKI dan simpatisannya. Sama saja antara yang bertuhan dan yang tidak bertuhan. Agama tidak menyumbang nilai bagi kemanusiaan. Terakhir, Pemerintahan Jokowi berjanji akan meminta maaf terhadap siapapun korban peristiwa pasca Gestok asal ditemukan kuburan massal para korban pembantaian itu. Ini cuma masalah waktu saja, karena sampai kapanpun tulang belulang berserakan akan menuntut keadilan.
Sekarang, saat banyak ormas yang serupa PKI, yaitu anti Pancasila masih belum dihabisi, patut dipertanyakan fenomena fobia akan simbol-simbol komunisme. Ada sedikit gambar palu arit di ruang publik, langsung akan berurusan dengan hukum. Memang sangat tidak intelek. Aparat begitu 'sensitif' terhadap gambar palu arit. Juga tokoh agama tertentu yang lebih takut gambar palu arit daripada terhadap sesama nya yang anti Pancasila. Memang ada bedanya walau sama-sama anti Pancasila. HTI dan FPI yang terang-terangan anti Pancasila adalah organisasi massa yang agamis, sehingga boleh ditoleransi, konon.Â
Sedangkan PKI itu anti agama jadi berdosa. Beda standar inilah yang membuat 'indra penciuman' mereka yang anti PKI begitu sensitifnya dengan gambar palu arit. Setiap melihat gambar palu arit langsung ketakutan seperti melihat hantu. Dikira mereka dengan adanya gambar palu arit itu sama saja PKI bangkit kembali. Jika punya otak sedikit saja, semua musti paham Komunisme sudah mampus. Tiongkok saja hanya komunis di tataran teori saja, kenyataan sudah dikuasai kapitalisme dan pasar bebas. Gambar palu arit itu hanya monumen lucu-lucuan saja era pasca komunisme. Yang masih yakin PKI bakal bangkit lagi itu orang-orang 'old fashioned' yang pantas masuk museum mummy. Komunisme sudah bangkrut total. Era nya sudah berakhir. Di masa depan eranya ideologi fundamentalislah yang menjadi ancaman. Tidak percaya?. Lihat saja ISIS itu bermula dari ormas-ormas seperti HTI dan FPI.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI