Pada era singkat Gus Dur memerintah, beliau mewacanakan pembubaran Departemen Agama (kini kementrian Agama) karena beliau sudah mencium kebusukan insan-insan agamis yang berkiprah disitu. Kita saat ini bertanya-tanya bagaimana pada kementrian yang paling relijius ini ada kasus korupsi Al Quran dan yang terakhir kasus korupsi Dana Haji. Sebenarnya jaman dahulu kala di era orde baru terjadi hal yang sama saja, sudah berjibun kasus korupsi yang tau sama tau. Hanya karena pada era orde baru, korupsi itu paling canggih manajemennya. Soeharto sebagai 'godfather' orde baru mengijinkan korupsi terjadi secara terkontrol dan terrencana. Tak pernah ada temuan apapun dari Irjen Departemen Agama yang secara rutin wajib memeriksa adanya penyimpangan. Dan juga ada BPKP dan BPK yang sama saja melempemnya, tidak pernah menemukan hal yang sama. Padahal modus korupsinya sama, dari mark up tiket, pondokan, transportasi lokal di tanah suci, sampai dengan aksesoris haji seperti busana dan tas. Semua dimark up tanpa malu-malu. Dan Gus Dur yang puluhan tahun paham akan praktek korupsi relijius ini berusaha membubarkan walau tak berhasil. Hal tercanggih dari kasus korupsi SDA ini adalah permainan kuota-permainan kurs tukar mata uang-bunga dana haji-daftar antrean-sampai jatah haji gratis untuk kalangan kerabat dan pejabat keparat. Yang berhasil Gus Dur bubarkan hanya Departemen Sosial yang juga tempatnya koruptor berpesta pora. Dengan modus penggelapan bansos pada daerah bencana seperti memberikan faktual 100 dus mie instan namun pada dokumen penerimaan, pihak yang menerima harus mengakui telah menerima 1000 dus. Ataupun, mau mengirim bantuan senilai sekian ternyata ongkos kirimnya berlipat-lipat karena 'insan sosial' di instansi itu ikut mark up tiket dan ongkos charter angkutannya. Sayangnya pada era selanjutnya Departemen Sosial dibangkitkan kembali.
Agama itu memang tempat berlindung yang suci bagi koruptor, berapa banyak tersangka koruptor yang saat ditanya tentang status tersangkanya selalu meminta ke siapa saja agar didoakan. Bagi saya najis dan haram mendoakan tersangka koruptor. Saat Ratu Atut Ratu Banten dinyatakan sebagai tersangka koruptor, tak lama kemudian beliau bersama ulama-ulama bayarannya mengadakan acara keagamaan dengan misi agar Ratu Banten dapat lolos dari jerat hukum. Biarpun berdoa sampai mencret kalau KPK sudah memiliki dua alat bukti, lebih baik doanya dibuang ke laut saja, sia-sia berdoa untuk membela kejahatan. Lebih bijaksana segera mengakui kesalahan lalu mengembalikan harta curian dan kemudian bunuh diri daripada dipenjara bertahun-tahun. Akan tetapi karena agama tidak  bisa mengasah rasa MALU kepada  koruptor, maka semua koruptor selalu merasa 'innocent' saja berlagak pilon sambil melambai-lambaikan tangan bak selebritis bila diliput.
Dari sejarah umat manusia, terbukti Agama bukanlah faktor yang memonopoli kebenaran dan moral, apalagi rasa malu jika berbuat tercela. Malah dalam banyak hal, Agama itu digunakan sebagai tameng pembenaran bila berbuat tercela. Agama sering digunakan untuk menakut-nakuti pihak lain yang menggugat perilaku bejat kaum beragama.
Sekarang menjelang bulan romadhon, sungguh ironis seorang Menteri Agama yang berbusa-busa mulutnya bicara ayat Agama namun jadi tersangka koruptor. Jika SDA itu seorang Jepang  atau Korea Selatan, niscaya SDA akan bunuh diri dalam beberapa hari ini karena tak kuasa menahan rasa malu akibat dituduh korupsi. Namun apa boleh buat, etika bangsa Jepang dan Korea Selatan memang jauh lebih berakhlak daripada bangsa ini yang cuma munafiq dan gemar melempar kesalahan kepada pihak lain, dan untuk itulah selalu diciptakan hantu 'komunisme', liberalisme', 'sekularisme'  dan 'pluralisme' semata-mata untuk menutupi kebejatan kaum agama sendiri. Menyedihkan atau malah bangga?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI