Siang di atas langit Kampus Universitas Jember, tampak sekumpulan anak muda dengan modis style berikut Honda Jazznya sedang asyik bikin janji mau makan dimana abis kuliah nanti. Gamma fried chicken? Dah kuno! Semua resto ataupun lesehan lalapan ayam sudah pernah dijabanin. Ayam goreng kalasan, ayam bakar Ny. Sumantri, warung Ny. Sarijan sampai warung Nyonya-nyonyaan lewat!! Yah… namanya juga ayam, mulai digoreng, dipanggang, sampai gak dimasak (gila! Sushi kalee…) sama saja, rasanya ya tetap rasa ayam!! Dan kaum muda yang katanya “mahasiswa” itu masih saja dengan kebingungan dan kepusingannya mencari menu makan siang hari ini. Bingung dan pusing, dua kata ini juga sedang ‘lari estafet’ di pikiran Parman (48), tukang becak yang biasa mangkal di depan Pengadilan Agama Jalan Sumatra Raya. Kesehariannya ia habiskan untuk duduk di atas becaknya, nglamun mikir anak bininya yang tiap hari perutnya diganjal nasi dan sambal tanpa rasa ayam.
Tak jauh dari situ, ada Odik (17) remaja warga Tegal Boto Kidul Sumbersari, remaja yang seharusnya siang itu ada di dalam kelas dan asyik mengerjakan tugas dari Bapak dan Ibu guru tercinta, justru asyik bersiul-siul menggoda mahasiswi MANDALA yang lagi lewat. Sambil ditemani gitar bekas pemberian teman sebangkunya dulu, ia pun bernyanyi,mengenang saat-saat ia masih belum putus sekolah akibat ‘harga sekolah’ yang terus membumbung tinggi, tak tergapai oleh ekonomi keluarganya. Nasib terlahir miskin mau dikata apa lagi, pikirnya pendek. Walah, begitu lebarnya jurang kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin, bagaimana ini?
Kemiskinan adalah kanker yang lambat tapi pasti membunuh setiap si pengidap, karena jika tidak segera ‘diamputasi’ maka akan terus menjalar sampai pada keturunannnya yang keberapapun juga. Memang, perang adalah fakta eksplisit penyebab dan pencipta kematian. Tapi kelaparan karena perang itu hanya terjadi 10 %. Kenyataannya kemiskinan adalah sumber kelaparan yang paling konkret dalam menciptakan malnutrisi kronis, baik itu perusakan indera, kelambatan pertumbuhan tubuh, hingga kelambatan berpikir.
Kasus yang dialami Parman (43) dan Odik (17) di atas adalah bentuk realitas kemiskinan di usia produktif. Jangankan berpikir untuk merubah kehidupan menjadi lebih baik, lha wong usus di dalam perut saja rasanya sudah berhimpit dengan lambung. Logistik menentukan logika, tanpa itu semua jadi sia-sia. Kalaupun ada bahan pangan mereka cenderung tidak peduli dengan gizi yang dikandung oleh bahan makanan tersebut. Asal kenyang bolehlah, karena komposisi pangan di Indonesia mayoritas yang tertinggi adalah karbohidrat, disusul lemak dan protein nabati, dan yang terakhir adalah lemak dan protein hewani. Makanan karbohidrat selain mudah didapat oleh kalangan menengah ke bawah, juga lebih murah dibandingkan sumber lemak dan protein. Porsi pengeluaran masyarakat miskin dalam hal pangan kurang lebih 80% (Khudori,2005). Jika pemasukan rumah tangga mengalami goncangan (shock), maka pengeluaran akan pangan semakin besar, bahkan anggaran untuk kebutuhan lain akan tersisihkan, baik itu kesehatan maupun pendidikan. Odik adalah salah satu korban pemerkosaan hak dalam memperoleh pendidikan yang layak akibat kemiskinan. Hemmh… capek deh! Ibu, anak-anakmu mulai lupa dengan pasal 31 ayat 2 nih….(cari sendiri ya isinya).
Walaupun penyediaan pangan dapat memadai, namun tanpa diimbangi kualitas gizi yang seimbang, hanya akan ‘menelurkan’ generasi statis yang besar kepala, anarkis dan apatis. Sekolah-sekolah tidak lagi menjadi ajang mengasah otak dan mempelajari bagaimana seharusnya merangkak, berjalan tertatih-tatih lalu jatuh lagi dalam rangka proses mencari kesuksesan. Justru dengan dalih menyelamatkan nama baik sekolah, orang tua dan guru, siswa dididik menjadi koruptor gurem dengan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh hasil yang maksimal. Sistem pendidikan kita adalah sistem mie instan, cepat prosesnya dan enak rasanya tanpa melihat dampak buruk bagi kesehatan jangka panjang. Survei the Political dan Economic Risk Consultantcy (PERC), menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk dari 12 negara Asia yang disurvei. Negara yang sistem pendidikannya baik akan melahirkan tenaga kerja yang baik tetapi jika sebaliknya akan menghasilkan tenaga kerja yang bermutu rendah, dan pengabaikan atas kualitas SDM adalah bagian dari penghancuran masa depan. Mau seperti itu? Kasihan dong Ibu kita…
Oya, mengapa kita nyuekin kelompok anak muda yang pusing cari makan siang tadi ya? Waduh penulis gak adil nih, he.. he…terima kasih sudah mengingatkan. Nah, sekarang akan kita bahas juga biar adil ok! Untuk seterusnya, kita beri gelar mereka dengan istilah orang kaya, sepakat? Jika tidak bolehlah mencari istilah yang lain. Pilih-pilih makanan ataupun bentuk konsumsi hidup yang lain bagi mereka bukan lagi reasionalitas ekonomis, tetapi lebih kepada politik ekonomi-kebudayaan yang memunculkan citra baru bagi dirinya. Fenomena ini dapat kita lihat dari 3F yang telah merakyat, yaitu fun, fashion dan food. Kapitalisme memang lihai ’menyulap’ bisnis menjadi kebudayaan yang membangggakan dan penuh prestise bagi orang yang mengusungnya, dalam benak mereka hanya ada kalimat pendek: Having fun ajalah… tapi lucunya, pemahaman mereka akan gizi sama saja dengan orang miskin, bedanya dahi mereka tak perlu berkerut untuk mencari makanan ‘sakit’. Para kapitalis telah melenakan dengan baik segala keinginan mereka melalui promosi besar-besaran terhadap produknya, dengan selalu menjual kepraktisan dan kemudahan. Padahal, mereka tidak pernah menyadari bahwa ideologi Barat terutama politik AS telah menggumpal dalam otak mereka dan menjadikan mereka ‘robot-robot gratis’ perusak ideologi bangsa yang cuek pada lingkungan sekitarnya. Inilah salah satu faktor mengapa kemiskinan di Indonesia terus menggurita, bagaimana kita bisa memotong arus kemiskinan jika sinergitas gerak antar kaum muda terpecah belah karena sibuk dengan dunianya sendiri. Ideologi bangsa telah ‘digadaikan’ dengan sangat murahnya lewat kesenangan sesaat (hedonisme), lalu cukup ‘say good bye’ pada Ibu kita yang terus diusik ketenanganya melalui penjajahan sistem? Maka inilah saatnya untuk turut berduka cita.
Melawan kebodohan dan kelaparan yang terangkum dalam kemiskinan bukan saja menjadi kewajiban moral, tetapi juga kewajiban negara untuk melindungi (to protect), memenuhi (to fullfill), dan memajukan (to promote), sebagaimana yang diakui dalam pasal 11 ayat 2 HESB (Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya) 1966, antara lain melakukan pembaruan sistem agraria sedemikian rupa sehingga menjamin terwujudnya hak-hak untuk memperoleh pangan yang layak (The Right to Adequate Food). Dan yang paling penting, jangan suka membebek pada ideologi asing yang tidak jelas juntrungannya, bukannya untung malah buntung. Pingin bukti? Butuh berapa liter lagi air mata petani yang harga gabahnya anjlok drastis, gara-gara semua barang berlabel impor.Padahal Al’Quran sudah menjelaskan dengan lugas dalam Surat Ali Imran ayat 28: “…Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada Allah kembalimu….”. So, mari kita rapatkan barisan, tegakkan keadilan dan kebenaran, sebab Ibu kita tercinta sedang bermimpi buruk, anak-anaknya salah asuh dan bagaimana dengan kita??!!
Oleh: Y. Afifah, Kabid Keilmuan KoTA-Universitas Jember
http://immkota-unej.blogspot.com/2009/04/ibu-kita-lagi-mimpi-buruk.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H