"Waktunya untuk pergi"
Masih kuingat saat kau bertanya padaku tentang bagaimana seseorang datang dan pergi sesuka hati.Â
Datang seperti sinar matahari diwaktu fajar. Membawa segala hal yang dibutuhkan hidup. Memberi penerangan pada setiap insan. Dan yang terpenting mengisyaratkan pada semua orang bahwa harapan masih ada.
Namun, mengapa dia yang datang seperti sinar mentari dipagi hari tak pergi seperti senja disore hari? Yang menyajikan keindahan untuk dinikmati. Melukiskan panorama diujung cakrawala 'tuk dikenang. Dan yang terpenting mengisyaratkan perpisahan sementara karena esok akan kembali (lagi).
Lantas mengapa dia datang dan pergi kehidupku sesuka hatinya?
Mengapa tak dia pikirkan bagaimana caraku membereskan segala yang berantakan?
Mengapa tak dia pikirkan bagaimana caraku menata ulang segalanya agar seperti semula?
Mengapa tak dia pikirkan bagaimana caraku untuk memulai semua yang telah porak poranda?
Jawabku, Aku pernah membaca sebuah kalimat 'hidup adalah siklus' sama seperti senja yang menanti matahari terbit sampai tenggelam. Sama seperti pelangi yang menanti sampai badai mereda. Sama seperti air terjun yang tak mengeluh meski jatuh demi sampai ke muara. Sama seperti dia yang pergi dari hidupmu tanpa sepucuk surat.
Kau menantinya untuk kembali, tapi tak tahu apakah dia juga ingin kembali padamu. Kau menantinya untuk kembali, padahal tahu dia telah melabuhkan hatinya pada yang lain. Kau menantinya untuk kembali, padahal kau tahu bahwa cinta patut diperjuangkan. Dan kau memilih untuk tetap menanti dan memantau. Meski kecewanya dia pada yang lain menjadi sakitmu dan bahagianya dia pada yang lain menjadi tombak yang menusuk jantungmu.
Tapi kau tetap menanti dia untuk kembali.