Islam sebagai sebuah agama yang luhur memiliki seperangkat aturan dan ajaran yang lengkap sebagai jalan menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Seperangkat aturan dan ajaran tersebut dapat kita temukan melalui al Quran dan as Sunnah. Persoalannya, sudahkah kita mempelajari kedua sumber utama tersebut? Realitanya ada sebagian kelompok Islam yang mengaku paling memahami al Quran dan as Sunnah kemudian merasa berhak menyalahkan kelompok lain yang tidak sesuai dengan pemahaman kelompok mereka. Dengan kata lain, pemahaman Islam yang benar adalah milik golongan tertentu sehingga persoalan ini secara tidak sadar telah menumbuhkan sikap fanatisme yang berlebihan.
Paham agama seperti ini sering kali mengatasnamakan agama demi memperoleh tujuan mereka, sehingga muncul gerakan radikal yang telah menjadi isu nasional pada beberapa tahun terakhir ini. Sayangnya, sikap kelompok agama yang merasa paling benar ini masih diperparah dengan sikap permusuhan dan kebencian yang meluap-luap kepada orang-orang di luar mereka, baik yang seagama maupun kepada nonmuslim. Tentu, ini bukanlah ajaran Islam yang asli, melainkan telah dipengaruhi oleh pamahaman agama yang bersifat eksklusif, fundamentalis, dan mengklaim diri sebagai satu-satunya kebenaran.
Dalam konteks global, tumbuhnya sikap “Islamophobia” yang menghinggapi masyarakat barat dan nonmuslim, karena Islam dilihat sebagai agama yang penuh kekerasan, saling membenci, dan teroris. Ayat-ayat perang sering kali menjadi landasan bagi mereka yang sering menebar kebencian atas kelompok di luar mereka. Padahal ayat-ayat perang tersebut dapat dipahami secara kontekstual. Maka dari itu, diperlukan pemahaman yang bisa menandingi atau adanya tawaran pemahaman agama yang bersifat terbuka, toleran, dan menghargai berbagai perbedaan sehingga terwujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Ada dua cara dalam melihat dan memahami agama, yaitu agama berorientasi hukum (law-oriented religion) dan agama berorientasi cinta (love-oriented religion). Kedua cara ini berkaitan dengan cara pandang dalam memahami dan menafsirkan teks (al Quran dan as Sunnah) yang terus berkembang. Cara pertama cenderung melihat agama didominasi oleh sifat-sifat keras dan kaku, sementara cara kedua melihat agama sebagai wadah manifestasi cinta seperti sifat Allah Swt. yang rahman dan rahim. Cara kedua ini menjadikan agama sebagai jalan kedamaian dan bersifat inklusif.
Beragama dengan Cinta
Masalah utama bagi setiap muslim adalah krisis spiritual. Agama Islam pada pemahaman yang lebih mendalam adalah agama yang kental bernuansa spiritual dan cinta. Mari kita simak hadis terkenal yang biasa disebut Hadis Jibril yang berbunyi demikian,
“Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasulullah Saw. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia duduk di hadapan Nabi. Kemudian berkata, ‘Hai Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam!’ Rasulullah Saw. menjawab, ’Islam adalah engkau bersaksi tidak ada yang berhak disembah dengan benar melainkan hanya Allah; menegakkan salat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadan; dan engkau menunaikan haji ke Baitullah jika kau mampu melakukannya’. Lelaki itu berkata, ‘Engkau benar’. Maka kami heran, ia yang bertanya, ia pula yang membenarkan. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang Iman!’ Nabi menjawab, ’Iman adalah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.’ Ia berkata, ’Engkau benar’. Dia bertanya lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang Ihsan’. Nabi menjawab, ‘Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu’.” (HR. Muslim).
Berdasarkan hadis di atas, Malaikat Jibril secara tidak langsung mengajarkan kepada para sahabat (dan juga para muslim secara umum) bahwa berislam tidaklah cukup “hanya” dengan mengamalkan rukun Islam dan rukun iman, akan tetapi harus dilengkapi dengan rukun ihsan. Rukun ihsan inilah yang sering kali tanpa disadari telah dilupakan kaum muslim atau setidaknya tak cukup mendapat perhatian dibandingkan dengan dua rukun sebelumnya. Padahal, seperti difirmankan oleh Allah Swt. pada QS. al Mulk ayat 2 yang artinya,
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Dalam rukun ihsan termuat aspek utama, yaitu spiritualitas dan moralitas. Spriritual dan moral akan melahirkan cinta, tidak hanya cinta kepada Allah Swt. tetapi juga cinta kepada sesama umat manusia. Tanpa spiritualitas yang mendalam serta moralitas yang luhur, maka agama justru bisa menjadi sumber bencana bagi peradaban manusia. Tanpa cinta, agama hanya akan menjadi alat bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Sebagaimana kita jumpai di tengah kehidupan bermasyarakat, agama telah disalahpahami dan disalahpraktikkan sehingga memicu kekerasan, permusuhan, dan peperangan.
Islam Wasathiyyah