[Maria] Mataku hanya tertuju pada beo hijau ini. Beo dalam sangkar ini sanggup membuatku mengingat dirimu yang pernah singgah di hatiku. Entah dimana dirimu sekarang? Hanya beo ini satu-satunya peninggalan darimu untukku. Sepuluh tahun sudah, kita tak bersua. Aku tetap masih mengharapkan wajahmu berada di hadapan parasku. Beo ini. Dulu kau pernah berkata: "Aku memberikan beo ini, karena kurasa beo ini hadiah paling pas," di hari ulangtahunku yang sweet seventeen. Kadang aku heran, mengapakah harus diembel-embeli 'sweet'? Tujuh belas. Angka itu gerbang menuju kedewasaan. Aku benci dewasa. Aku benci jadi dewasa. Jadi dewasa, membuatku harus berpikir realistis. Sarat dengan beban, masalah, kesakitan, kesukaran,... hilang semua segala sukacita khas anak-anak. Memang apa salahnya jadi anak-anak selamanya? Kamu tertawa. Kau hanya terbahak-bahak mendengarkan celotehku. Ucapmu: "Kamu ini yah? Bawelmu kapan sih hilangnya? Persis seperti beo ini. Cerocos terus tanpa henti." Hah? Aku terkejut. Masakan aku disamakan dengan burung beo. Cengiran. Hanya itu yang kamu berikan sebagai jawaban. Sesungguhnya kamu menimpali kata-kata nyinyirku itu. Namun jawabannya tak ada tautannya sama sekali. Kau berseloroh: "Sweet seventeen. Sweet itu artinya manis. Tujuh belas. Satu dan tujuh. Bila dijumlahkan hasilnya delapan. Delapan itu menurut tradisi Tiongkok, angka kesempurnaan. Tak hanya di Tiongkok sana, banyak negara dan bangsa memuja angka delapan. Tak usah heran. Angka itu memang sempurna. Tali temalinya menyatu; tak memotong. Itulah sebabnya, disebut sweet seventeen. Selain itu, jadi dewasa tak selamanya buruk. Karena dewasa, kita dapat melakukan banyak hal yang tak bisa kita lakukan di masa kecil." Aduh, sekarang siapa coba yang bawel? Aku atau kamu? Setidaknya bawelku ini lebih jelas arahnya. Sedangkan kamu? Kamu hanya menyerocos tanpa aku tahu apa maksudnya. Tapi itu membuktikan, aku dan kamu memang berjodoh. Kita punya kesamaan sifat: bawel. Ah jodoh. Kata itu bikin aku kebas. Kalau kita jodoh, mengapakah kamu pergi tanpa jejak? Tanpa jejak? Benarkah itu? Yah kamu memang memberitahuku kamu pergi ke negeri adidaya untuk belajar. Kamu diterima di universitas paling bergengsi. Walaupun demikian, semenjak kamu pergi, kamu serasa menghilang. Sungguh tanpa jejak. Akunmu tak aktif lagi. Nomormu pasti ganti. Surat elektronikku tak pernah kamu balas. Ah, ah, ah. Kamu ada dimana sebetulnya? "Hey, Maria!" Aku terbangun dari lamunanku. Ternyata Ricky. Pria yang terus menerus mencoba untuk menggantikan posisimu di hatiku. Padahal sudah bermilyar-milyar kali kubilang, hati ini hanya milikmu seorang. Morris. "Masih terus menunggui Morris?" tanyanya dengan senyum usil. "Sudahlah lupakan saja. Morris pasti di sana sudah melupakanmu. Laki-laki itu tak bisa dipercaya. Mereka bak kucing garong. Ada betina yang aduhai, berpindahlah mereka. Lebih baik kamu buka hatimu untuk aku. Aku janji tak akan mengecewakanmu." "Kamu laki-laki, bukan?" Kutangkis kata-katanya yang melecehkanmu itu. "Kamu juga kucing garong, dong?! Kamu pasti juga tak bisa dipercaya. Kata-katamu itu menyiratkan semua laki-laki busuk." Matanya tampak tersinggung, namun berusaha tenang. "Tak semua. Aku berkata seperti itu, maksudku kebanyakan. Sembilan puluh persen laki-laki suka mendua. Hanya sepuluh saja yang tidak - dan salah satunya itu aku." Ah, pria ini pintar sekali berkelit. Sama seperti kamu, tapi dia jauh lebih keras kepala dan... egois. Kamu tahu, tidak? Pria ini pernah tak mau memberikan tempat duduk pada seorang wanita. Katanya sih: "Sekarang jaman emansipasi, bukan? Apalagi perempuan itu juga masih kuat berdiri." Ah, egois sekali dirinya. Berbeda denganmu. "Maria, realistislah." Ia berusaha meretorikaku. "Kamu dan Morris sudah lama putus kontak. Kamu sendiri yang cerita padaku, ia tak bisa dihubungi lagi. Kalau ia memang pria yang layak, harusnya ia tak perlu menutup semua akun yang menjadi penghubung ke dirimu. Aku sangsi dia masih mengingatmu. Di sana, ia pasti kecantol dengan perempuan-perempuan Kaukasoid, Hispanik, atau Oriental. Aku yakin itu." "Tapi kamu juga akan begitu, kan?" sergahku. Lelaki ini menatapku nyalang. "Jangan potong pembicaraanku!" Lihat! Lelaki ini sungguh egois. Ah, andai kamu bisa lihat. Sayangnya kamu pun tak ada di dekatku - hingga detik ini. Ia bahkan masuk ke rumahku sewenangnya. "Sekarang usiamu 27. Tiga tahun lagi genap 30. Kamu mau terus hidup dalam pergunjingan masyarakat? Tak baik perempuan melajang di usia sepertimu ini. Apa kata dunia?" Aku tantang balik, "Terus kamu sendiri kenapa masih melajang? Kamu tak takut disangka homo? Wajahmu rupawan, tapi tampak seperti gay." Lelaki ini mulai panas. Suaranya meninggi. "Aku bukan gay. Aku melajang, karena menunggu dirimu untuk membuka hati buatku. Apa itu salah? Aku mencoba menunjukan kesetiaanku. Kumohon, terimalah cintaku. Aku janji akan membahagiakanmu." Secepat kilat pria itu mengeluarkan sesuatu dari kantong celana denimnya. Sehelai kertas folio polos. Diacung-acungkanlah itu dihadapanku. "Lihat ini!" pekiknya. "Ini surat. Suratnya berisi perjanjian kamu boleh menceraikanku, jika kamu bertemu dia. Bagaimana? Kumohon, ijikanlah aku menggantikan posisi Morris untuk sementara." Ya Tuhan. Kamu tahu? Hatiku jadi mendua. Satu sisi ingin setia menunggumu, sisi lain ingin menyimpang. Hatiku jadi mencair karena surat yang dibawa Ricky tersebut. Maafkan aku, kamu tergantikan. ***** [Morris] Akhirnya aku bisa juga mengunjungi kamar tidurku ini setelah sekian lama. Sepuluh tahun sudah aku tak meniduri ranjangku yang super empuk ini; ini semua karena kesibukanku kuliah yang membuatku tak bisa pulang ke Indonesia. Dan semuanya nyaris tak berubah. Dekorasinya, posisi perabotannya, ah yang berubah hanya cat dan lampunya saja. Pasti itu inisiatif Mama. Mama selalu lasak. Tangannya selalu gatal jika tak berbenah. Kuselonjorkan ragaku di atas spring bed. Kumenatap langit-langit kamarnya. Mataku menerawang seolah bisa tembus pandang menatap langit biru yang luas di atas sana. Tapi apa daya, yang kutatap tetap langit-langit kamar. Ini juga buka sia-sia, kok. Nyatanya aku jadi teringat sosok seseorang. Seorang wanita berambut panjang, berwajah tirus, dan berhidung mancung. Maria. Maria, maafkan aku yah. Aku sudah sepihak memutuskan segala tali komunikasi denganmu. Andai saja akunku tak diretas seseorang yang biadab itu. Ah, bukan. Andai saja aku tak langsung kecewa akibat peretasan itu; dan tetap membikin akun baru lainnya, pasti aku dan kamu masih tetap terhubung. Aku sungguh idiot. Kamu pasti, di suatu tempat, di suatu waktu, dengan mulut bawel, menuduhku main mata dan mendua di sana. Padahal serius, Mar. Sepuluh tahun kuliah di negeri Paman Sam - yang tak pernah muncul batang hidungnya, aku tak pernah lirak-lirik bodi. Kesetianku sampai disalahartikan orang-orang di sana. Aku sampai dikira gay! Tok! Tok! Tok! Pintu diketuk, lamunanku pun sirna. Aku sadar. Pembantu rumah tangga keluargaku yang baru masuk. Masuk seraya membawa sebuah amplop. Indah nian amplop itu. Pasti undangan pernikahan. Tapi siapakah pengirimnya? Nyaris semua temanku mengirimkan undangan pernikahan lewat facebook. Sedikit dan bisa dihitung pakai tangan yang masih menempuh cara konvensional seperti ini. Dari siapakah itu? "Mas, ini ada undangan," ucap pembantu tersebut. "Dari siapa, Mbak?" tanyaku masih berselonjoran. "Dari Maria. Datangnya sih tiga hari lalu, sebelum Mas datang. Maaf yah saya lupa kasihnya." Sigap aku bangun dan mengambilnya. "Terimakasih yah Mbak." Pembantuku itu pun lalu pergi. Aku segera membuka undangannya. Di sana tertulis - atau tepatnya mataku hanya tertuju ke bagian khususnya saja. Itu: Ricky Alberto Setiawan
dengan Maria Anastasia Warokka Maria, Maria. Mengapakah kamu tak bisa menungguku? Apakah kamu meragukan kesetianku padamu? Aku serasa menyemut dan siap diinjak kaki-kaki manapun. Dokumentasi pribadi. [Maria] Dari awal, aku memang kurang menyukai pria ini. Pria yang menjadi suamiku maksudnya. Aku keberatan untuk dinikahinya. Pria ini egois. Jauh lebih egois dari Morris--lelaki yang seharusnya kutunggu. Apa mungkin ini karma? Mungkinkah ini azab? Morris tak seegois dirinya. Dia selalu mempersilahkan duduk perempuan yang butuh. Ia selalu datang dengan inisiatif sendiri untuk membantu. Morris bahkan tak pernah setidak-tidak-tahu-malu itu; tidak pernah memintaku untuk mengeluarkan uang demi melunasi sesuatu. Morris selalu berusaha menghapus noda saatlunch atau dinner. Iya aku tahu. Aku tahu soal ungkapan itu. "Jika kau mencintai seseorang, seberapa berantakan orang itu, sekeras apa orang itu, semenakutkan orang itu, orang itu tetap ada di hati." Aku tahu itu. Tak ayal, cerita rakyat 'Beauty and the Beast' atau 'Joko Kendil' jadi favoritku. Aku begitu menyukai kala putri kerajaan itu mau diperistri oleh seorang pemuda berwujud kendil. Morris pun memiliki beberapa kelemahan. Morris juga tak sempurna. Ada beberapa keburukan yang tak kusukai. Seperti kebawelannya itu. Aku benci waktu dia merespon berapi-api segala kebawelanku. Aku pun benci saat dia suka bikin keputusan sendiri. Ah aku ingat saat dia berangkat ke Amerika tersebut. Tanpa pernah cerita sama sekali, Morris langsung datang padaku dan berujar, "Mar, minggu depan aku berangkat ke New York," Morris juga tak jujur. Apalagi jika itu menyangkut perihal finansial. Sekeras apa kau mencoba, kalau dia tak mau, percuma saja. Lelaki itu selalu berusaha menahan lapar, membiarkanmu kenyang sendiri, waktu dia sedang tak bagus kondisi kantongnya. Sebetulnya masih banyak keburukan Morris. Namun semakin kuingat semakin pedih. Dan segala keburukan itu aku cintai dengan segenap hati. Sungguh berbeda dengan pria yang menjadi suamiku. Keburukan Ricky jelas tak kusukai. Terutama saat dia dengan entengnya menuduhku mandul. Oke aku akan bikin pengakuan. Dari awal diriku memang tak pernah sama sekali jatuh cinta dengan seorang Ricky Alberto Setiawan. Chemistry-ku hanya untuk Morris Permadi. ***** [Morris] Maaf saja, ini bukan perselingkuhan. Aku sama sekali tak pernah merencanakan pertemuan dengan dia. Aku tak sengaja bertemu sewaktu di bioskop tadi. Perempuan ini.... Sebetulnya aku kecewa awalnya. Aku kira dia tak setia. Aku kira dirinya sudah lupa janji tersebut. Dulu kami berjanji untuk selalu bersama. Aku berjanji untuk selalu memusatkan hati padanya. Ia pun sama. Namun waktu bergulir. Muncul pernikahan itu. Hatiku remuk. Aku sempat mengira ia tak setia. Sia-sia aku menghadiahkan beo tersebut. Mungkin beo itu sudah berganti tuan. Atau mungkin sudah tiada, saking tak diurus. Aku salah. Perempuan itu terpaksa menikah. Faktor usia penyebabnya. Aku tahu, kaum perempuan harus segera menikah untuk menghindari anggapan miring. Lewat angka 25, tak kunjung menikah, banyak orang menuding perempuan itu tak laku. Macam barang dagangan saja. Aku bahagia. Ternyata beo itu masih ada. Ia masih memeliharanya dalam kamar. Itu salah satu bukti--dan mungkin yang terkuat--bahwa ia memang mencintaiku. Kasihan pria itu. Pria itu memang bisa memaksa dia untuk menjadi pasangan sehidup-semati. Tapi hatinya kan sudah jadi milikku. Ha-ha-ha, aku tergelak penuh kemenangan. Setelah empat tahun pernikahan, kami bersua kembali. Selama ini kami sudah bersepakat untuk menghindari kontak mata. Tak elok perepuan bersuami bertemu dengan lelaki lajang berdua saja. Sebetulnya aku juga heran. Ia pernah bertutur bahwa pria itu sudah membuat perjanjian yang akan membatalkan pernikahan jika aku datang. Tapi kami berdua tahu, perjanjian itu fiktif. Tak pernah dilegalisasikan di hadapan notaris. Pria itu terus memaksanya untuk meneruskan pernikahan. Kalau tak mau, ia harus mengganti seluruh biaya yang sudah dikeluarkan. Entah itu biaya material maupun yang moral. Keterlaluan. Tambah keterlaluan pula saat dia terisak padaku di restoran ini. "...dan sekarang dia mau menceraikanku karena tak kunjung mengandung..." Hah? Apa selama ini pria itu ngotot menikahinya hanya demi mendapatkan seorang anak? Kudengar, Maria ini darah biru. Walau ayahnya seorang pengusaha toko bangunan kelas kecil, turunan ningrat tetap saja turunan ningrat. Keluarganya siap mewarisi berjuta-juta kapan pun. Apalagi Maria paras ayunya. Mungkin selain untuk memperbaiki keturunan, pria ini hendak mengincar hartanya saja. Kalau aku sendiri, persetan dengan darah biru. Persetan pula dengan gelimangan harta di balik keluarga Maria yang tampak sederhana. Cintaku padanya itu murni. Semurni emas dua puluh empat karat. Lagian buat apa status dan harta jika kita tak sreg dengan kepribadian pasangan kita. Aku tergelak. Iya, Maria, seringkali aku suka jengah dengan beberapa keburukanmu. Mulut bawelmu, pembawaan ratu drama-mu, jiwa melankolismu, atau kebiasaanmu yang suka memaksa itu. Tapi itu semua aku abaikan. Karena kenapa? Aku sungguh mencintaimu sepenuh hati. Beda dengan pria itu. Siapa namanya? Ricky? Bajingan pria itu! Masa ingin menceraikanmu hanya karena empat tahun tanpa bayi? Apa cinta itu identik dengan bayi? Lebih baik kamu pindah ke hatiku saja, Mar. Aku siap. Aku sama sekali tak mempermasalahkan soal keperawananmu atau status janda tersebut. Seperti yang sudah kubilang, aku sungguh mencintaimu sepenuh hati. ***** [Morris] Empat tahun lalu, Perempuan di sampingku ini namanya Shania. Nama yang indah. Berasal dari bahasa Afrika-Amerika, Tishania, yang artinya 'dalam jalanku'. Atau dalam bahasa Indian itu artinya 'istana peri '. Kuakui, perempuan yang kudengar merupakan pemuja rahasiaku ini memang secantik peri, walau sampai sedewasa ini pun aku belum pernah melihat peri sungguhan. Padahal dia tahu untuk siapa hatiku. Tapi ia tetap mengeraskan hati. Katanya: "Belum ada pria lain yang bisa menggantikanmu, Morris. Aku percaya kalau kita berdua ini berjodoh." Perutku mulas mendengarnya. Aku percaya soal konsep jodoh. Tapi ucapan Shania itu, ha-ha-ha. Perempuan itu tahu kan, baik aku dan Maria itu saling mencintai? Bagaimana mungkin ia bilang bahwa aku ini jodohnya? Apa dirinya masih berpikir, pertemuan tak sengaja waktu tes masuk universitas itu bukti terkuatnya? Memang dia jadi teman sefakultas. Tapi hati ini tak memilih dia. Hati ini memilih sosok Maria Anastasia Warokka yang pun menambatkan hatinya padaku. "Jadi bagaimana?" ujar Shania tersenyum nakal. "Masih tak percaya kita ini berjodoh? Lihat kan, Maria sudah menikah. Pun kalau kamu ingat, kita satu wisuda. Kamu kan kaget waktu kubilang ternyata aku tinggal di perumahan yang sama denganmu. Tak usah mengelak, Morris--please!" "Entahlah, Shan. I don't know. But..." Aku terdiam, menunjuk-nunjuk letak jantung. "...entah mengapa aku punya firasat bahwa cepat atau lambat, Maria akan kembali padaku." "Bukankah perjanjian itu fiktif? Pria itu tetap memaksa juga, dan Maria sama sekali tak berusaha mencari cara agar batal." Aku menghela napas. "Sudahlah, Shania. Aku malas membahas soal itu. Kata-kataku tetap sama. Pun dengan firasatku. Aku yakin Maria akan kembali. Tak peduli statusnya janda, tak peduli dirinya mandul, aku sungguh mencintainya sepenuh hati. Lebih baik kamu cari laki-laki lain saja, Shan." "Aku pun sama. Sama seperti dirimu yang menunggu tanpa kepastian, aku akan menunggu kamu untuk bisa membuka hati untukku, Morris." Aku nyengir lebar, mengertakkan gigi, dan menggeram. Sungguh keras kepala kali perempuan ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H