1. Â Pengantar
Dalam kamus teologi, secara terminologi hope/harapan memiliki berarti menerima berkat yang akan datang dan lahir dari iman kepada Kristus serta diungkapkan dalam bentuk kasih.[1] Dalam dokumen Gereja, Paus Benediktus XVI menerbitkkan ensiklik tentang pengharapan yakni Spe Salvi (Iman yang Menyelamatkan).Â
Dalam dokumenn, tersebut, harapan adalah iman yang terwujud di masa depan. Masa depan itu dilihat dari masa kini dengan tempat dan bentuk iman yang ada sejak manusia beriman kepada Kristus, karena Kristus adalah harapan satu-satunya dalam iman kristiani.[2] Masih banyak lagi tulisan-tulisan mengenai harapan yang dikaji dalam disiplin ilmu. Dalam tulisan ini, penulis mengkaji harapan menjadi salah satu tema yang termuat dalam tema eskatologi sesuai ajaran resmi Gereja yakni dalam Katekismus Gereja Katolik.Â
Tema pengharapan dalam eskatologi merupakan penantian kedatangan Allah untuk menyelamatkan manusia beriman.[3] Dalam disiplin ilmu moral, harapan merupakan salah satu dari keutamaan teologal, sedangkan dalam konteks teologi merupakan bentuk iman setelah hidup di dunia sekarang ini.[4] Dalam ilmu ke-Tuhanan sendiri, harapan menjadi salah satu ilmu teologi yang disebut dengan teologi pengharapan.Â
Pengharapan menjadi suatu refleksi biblis yang lahir dari pengalaman manusiawi. Atas dasar pengalaman manusiawi tersebut, harapan memiliki konteks teologi sendiri yang dapat dilihat dari sisi: latar belakang, ciri khas, arti, sifat, dasar, objek, dan penghayatan harapan itu sendiri.
2. Â Harapan dalam Eskatologi
Eskatologi merupakan ilmu teologi yang mengkaji pemenuhan atas janji Allah yang telah dinyatakan dalam perjanjian lama. Kepenuhan tersebut tertulis dalam perjanjian baru, khususnya refleksi atas surat-surat Rasul Paulus. Refleksi biblis tersebut lahir dari pengalaman manusiawi, dimana "beban-beban dunia" sering menekan untuk menghilangkan iman akan Kristus sebagai Penyelamat manusia. Dalam situasi ini, manusia perlu memiliki hararapan sebagai salah satu keutamaan yang menyelamatkan. Namun refleksi biblis tersebut melahirkan hal-hal fundamental yang terdiri dari latar belakang, ciri khas, arti, sifat, dasar, objek, dan penghayatannya.
Dalam menuju zaman eskatologis, manusia dipertanyatakan kepada penyebab yang menjadi latar belakang manusia untuk berharap dalam diri Yesus. Hal ini juga terjawab dalam konteks harapan sejak zaman bangsa Israel. Dalam refleksi biblis, bangsa Israel merupakan bangsa pilihan Allah yang telah mengalami Allah yang Esa untuk menyelamatkan. Penyelamatan Allah tampak dalam Kitab Suci ketika Allah mengeluarkan bangsa Israel dari perbudakan Mesir.Â
Hal ini menjadikan Yesus sebagai Tuhan yang disembah adalah tujuan, dasar, dan isi harapan manusia sendiri. Dari sini, nampak bahwa harapan bangsa Israel bersifat eskatologis. Pengharapan dalam Perjanjian Lama lebih tertuju kepada Tuhan dengan kepercayaan (lih. Mikha 7:7; Mazmur 62:6 dan Yes 40:31).[5] Akan tetapi, refleksi biblis Rasul Paulus menyebutkan Yesus adalah Tuhan karena Allah yang disebut Bapa mengutus Yesus ke dunia untuk dimuliakan secara abadi dengan salib dan kebangkitan.
Ciri khas pengharapan dihadapkan dalam situasi ambang "telah dan akan". Situasi ini menjadi salah satu ciri yang beriman kristiani. Keadaan sudah terlaksana dalam diri Yesus yang disebut Kristus. Secara fakta, Yesus telah wafat di kayu salib di bukit golgota sekitar 2000 tahun yang lalu.Â
Dengan wafatNya dan dari atas kayu salibNya, Yesus telah menunaikan tugas Allah yakni menyelamatkan manusia secara universal. Dengan penunaian tugas itu pula, Yesus menjadi pengadil utama pada akhir zaman. Situasi "akan" ditentukan oleh hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manusia yang beriman dengan Yesus sebagai pengantar dijamin oleh Allah yang mengutus Yesus, termasuk untuk menyelamatkan manusia yang percaya kepada Yesus.[6] Dengan tugas perutusan tersebut, Yesus memperbaharui muka bumi serta manusia sebagai ciptaan istimewa. Dia akan mengadili manusia yang salah dan yang benar.[7]