Dari kejauhan puncak Gunung Jambangan yang tinggi bergeming, tampak diselimuti kabut subuh di musim kemarau. Udara diluar rumah masih terasa dingin terasa ngilu menusuk tulaang. Embun tampak menempel di kerimbunan daun keladi disamping rumah yang terbuat dari kayu jenis Ulin (kayu besi) beratap sirap (terbuat dari kayu Ulin). Beberapa ekor ayam telah nampak turun sebatang pohon sawo yang tumbuh di halaman, mengais-ngais mencari makan.
Nu’ding baru saja selesai mempersiapkan peralatan kerjanya yang terdiri dari mesin pemotong kayu (chainsaw, sinso), sipat (benang untuk meluruskan ukuran), busi cadangan, oli, bensin, dan sepeda pancalnya.
Perlahan ia kemudian melangkah ke dapur. Tampak isterinya Halmiah sedang menyiapkan sarapan terdiri dari ubi rebus dan ikan kering tengiri. Dari kejauhan masih terdengar suara orang sedang membaca shalawat tanda shalat subuh telah selesai.
Sejak tak lagi pergi melaut, Nu’ding bekerja pada H. Sahide, orang kaya di kampungnya. Desa tempat Nu’ding tinggal bersama isteri dan seorang anaknya, berada dekat dengan tepi laut, dan juga tak seberapa jauh dari perbukitan. Alam desa dimana Nu’ding dilahirkan dan dibesarkan, cukup indah dengan pemandangan laut serta perbukitan dan gunung yang ditumbuhi pepohonan besar. Kehidupan warga desa selain pergi melaut untuk mencari nafkah sebagai nelayan, ada pula yang hidup menjadi petani. Nu’ding sebenarnya berasal dari keluarga nelayan. Kakek, ayah, dan saudaranya hidup sebagai nelayan. Namun Nu’ding memilih jalan hidupnya sendiri, berhenti jadi nelayan, menebang kayu.
Keahlian Nu’ding menebang kayu dengan menggunakan chainsaw (sinso) ia peroleh ketika ia menjadi pembantu dari Usman, seorang penegang kayu dari Negara.
Setelah dirasakan tak ada lagi peralatan kerja serta bekal makanan yang ketinggalan, Nu’ding pamit ke isterinya yang masih sibuk menyiapkan sarapan untuk ia dan anaknya. Tak ada ciuman di kening ataupun cium pipi dari Nu'ding kepada isterinya tanda pamit pergi bekerja. Hanya sebersit harapan di benak Nu'ding semoga kepergiannya selalu mendapatkan rejeki bagi keluarga kecilnya.
Nu'ding mengayuh sepeda pancalnya ke arah barat. Kemarin ia mendapat kabar dari seorang petani tetangganya, di sekitar kebunnya masih banyak terdapat tonggak-tonggak kayu ulin. Tonggak ulin itu dinamakan tunggul, bekas sisa tebangan sebelumnya. Karena ukurannya yang masih panjang sehingga dapat dibikin balok-balok pendek, atau diolah menjadi sirap (atap dari kayu).
Sepanjang perjalanan sambil mengayuh sepedanya, dari mulut Nu'ding keluar siulan yang mengiramakan sebuah lagu dangdut yang sedang hit. Terkadang siulan itu berganti menjadi syair lagu yang ia nyanyikan sekenanya.
Lumayan jauh menuju kebun tetangganya itu, hampir 2 pal (kilometer). Dengan bersepeda pancal, menempuh perbukitan, Nu’ding akan sampai di kebun tersebut sekitar hampir 1 jam. Namun dengan keceriaannya sambil bersiul dan bernyanyi sepanjang perjalanan, tak terasa Nu'ding pun tiba tujuannya.
Memang benar di sekitar kebun tetangganya itu masih terdapat beberapa tunggul yang lumayan besar dan tinggi hampir 1 meter. Nu’ding menghitung ada 6 tunggul. Nu’ding pun menyiapkan peralatan tebangnya.
Matahari pagi mulai memancarkan sinarnya yang kemilau bak emas yang menembus awan. Pagi yang cerah itu dipecahkan oleh raungan bunyi sinso yang sayup-sayup terbawa angin menembus ranting-ranting semak mengalahkan kicau burung-burung yang sedang bertengger damai di dahan pepohonan.
Sekitar setengah jam kemudian satu tunggul telah terpotong oleh Nu’ding. Ia beristirahat sejenak untuk minum, merokok, dan menyantap ubi rebus bekal yang ia bawa dari rumah tadi. Setelah menghabiskan sebatang rokok, Nu’ding pun kembali melanjutkan pekerjaannya memotong tunggul lainnya.
Kaos yang dikenakan oleh Nu'ding telah basah oleh keringatnya. Matahari telah bergeser ke arah barat, pekerjaan Nu’ding memotong tunggul telah selesai. Kini ia mulai memotong-motong tunggul itu menjadi berbagai ukuran sesuai yang dikehendaki oleh pembeli.
Semburat sinar matahari tampak mulai meredup, perlahan tenggelam dibalik rimbunnya daun pepohonan.
Hingga hari menjelang maghrib, pekerjaan Nu’ding mengolah tunggul belum selesai. Ia pun merapikan pekerjaannya, memisahkan antara tunggul yang belum diolah dari yang sudah berbentuk jadi. Selanjutnja ia menutupi hasil pekerjaannya dengan daun pepohonan agar tak kentara dilihat orang.
Setelah menaikkan semua peralatannya ke sepeda pancal, Nu’ding pun mengayuh menuju pulang.
Hampir seminggu Nu’ding bolak-balik ke tempat pekerjaannya. Kini semua tunggul-tunggul ulin itu telah berubah menjadi bahan jadi berbagai ukuran.
Hari ini ia Nu’ding akan pergi menemui H. Sahide. Ia akan minta juragannya itu mempersiapkan mobil angkutan untuk membawa hasil pekerjaannya.
H. Sahide sumringah mendengar laporan hasil pekerjaan Nu’ding. Ia pun memanggil sopir angkutannya agar mempersiapkan diri. H. Sahide tampak puas mengetahui Nu’ding bekerja dengan baik. Itu berarti ia tak malu bila mitra dagangnya dari Bati-Bati datang membeli kayu. "Aku sudah suruh si Dullah mengambil dan mengangkut kayu-kayu itu," ujar H. Sahide dengan senyum dan hidungnya tambah mekar.
Kayu hasil olahan sinso oleh Nu’ding telah tertumpuk di gudang H. Sahide. Setelah diukur hasilnya lebih dari 2 meter kubik. Ini berarti jika dijual, Nuding akan memperoleh hasil sebesar sepertiga bagian setelah dibagi untuk pemilik modal dan sinso yang dipakai. Nu'ding membayangkan dirinya menerima uang hasilnya bekerja. Membayangkan akan diapakan uangnya itu nanti.
Nu’ding menerima bagian hasilnya bekerja 2 hari kemudian. Lumayan dalam minggu ini ia bisa membeli beras beberapa gantang, dan keperluan lainnya, serta membayar biaya sekolah Ancah, anaknya yang sedang duduk di kelas 4 SD.
Nu’ding pun memutuskan untuk istirahat selama 2 hari. Ia telah mendapat ijin dari H. Sahide. Waktu istirahat ini biasanya dipergunakan Nu’ding untuk mencari lokasi baru. Ia akan mencari informasi dari beberapa warga yang biasa sering keluar masuk hutan sebagai peladang berpindah. Atau Nu’ding nongkrong di warung kopi milik Mang Husin yang terletak di tengah desa. Disini tiap hari banyak warga yang kumpul. Mereka yang tak pergi melaut atau ke ladang, suka nonkrong di tempat Mang Husin. Ada yang main gaple, main catur, ada pula yang cuma duduk makan minum sambil ngelantur. Namun tak jarang disini juga ada warga yang membawa informasi berguna. Seperti hari ini ketika banyak pengunjung di warung kopi Mang Husin, seseorang mampir. Tampaknya ia habis melakukan perjalanan dari arah kota mengendarai sepeda motornya.
“Dari mana, Din” tanya Mang Husin kepada tamu yang tampaknya telah ia kenal.
“Dari kota, Mang ?” balas tamunya sembari mengambil tempat duduk.
“Ada kabar apa, maksudnya informasi apa ?” ralat Mang Husin.
“Kabar baik aja. Tapi tadi saya ada ketemu beberapa Polisi Hutan dan Polisi Polres sedang menuju ke arah sini. Informasinya mereka akan melakukan razia kayu,” ungkap Udin, tamu yang barusan datang.
Nu’ding yang mendengar percakapan antara Mang Husin dengan Udin, menjadi tertarik.
“Kamu tadi ketemu mereka dimana,” tanya Nu’ding kepada Udin yang tinggal di desa tetangga.
“Kira-kira 4 pal dari luar kota,” sahut Udin.
Dalam pikiran Nu’ding para Polisi itu paling-paling setengah atau 1 jam lagi akan telah berada di desanya.