Lama tak menengok kampung kelahiran di Pulau Laut, pulau yang terpisah dari daratan pulau Kalimantan ke arah mata angin tenggara. Menyeberangi Selat Laut berjarak sekitar dua mil laut dari pelabuhan ferry penyeberangan Batulicin, membuatku malas melakukan perjalanan. Meski cuma memakan waktu perjalan sekitar dua jam untuk mencapai Kotabaru yang pusat kabupaten, membuatku jarang menengok tanah kelahiran.
Pertengahan Pebruari lalu dikarenakan ada liputan untuk media tipi terhadap salah seorang Caleg untuk DPR RI dari Partai Nasdem, aku pun menginjakkan kaki di daratan Pulau Laut setelah hampir dua tahun tak kesana. Jalanan kesana sepanjang sekitar empatpuluh pal (sebutan kami untuk kilometer) sudah lumayan bagus dibanding beberapa tahun lalu ketika aku masih suka pulang pergi kesana untuk keperluan peliputan berita media cetak yang sudah cukup lama kutinggalkan.
Perjalanan pun terasa nyaman dengan kondisi badan jalan yang sudah lumayan mulus. Aku sangat menikmati perjalanan dengan memperhatikan pepohonan dan beberapa kampung yang dilewati. Dalam perjalanan ini aku sebagai penumpang, sehingga aku leluasa memandang ke segala arah.
Ada satu hal yang tak kutemui dalam perjalanan kali initak seperti dulu beberapa tahun lalu saat badan jalan di sana sini masih banyak yang rusak. Tak kulihat lagi seorang pria tua berkulit coklat mendekati hitam, berambut setengah gundul bertelanjang dada tanpa baju dengan sebilah cangkul di tangannya yang tampak kekar.
Entah kemana pria tua itu kini. Aku mengarahkan pandanganku keluar mobil dengan seksama, kalau-kalau pria tua itu sedang berada di tepi jalan seperti dulu. Namun hingga kami tiba di Kotabaru, pria tua itu tak tampak terlihat. Biasanya pria dengan sebilah cangkul itu sepanjang siang hingga menjelang petang berada ti tepi jalan. Pria tersebut sudah pantas dipanggil kakek, ya kakek cangkul, yang ini betul-betul asli, bukan kakek cangkul yang di film horor Indonesia.
Kakek Cangkul.
Sebutan ini sangat tepat untuk pria tua tersebut, karena memang aku tak tahu namanya. Dan aku tak pernah terpikir untuk menanyakan namanya, ah....apa arti sebuah nama, panggilan saja sudah cukup.
Kakek Cangkul ini dulu selalu berada di sekitar badan jalan yang rusak. Dengan cangkulnya ia memperbaiki jalan yang rusak agar para pengguna jalan menjadi lancar. Untuk pekerjaannya ini Kakek Cangkul mendapat imbalan secara sukarela dari para pengguna jalan yang lewat. Tak setiap pengguna jalan yang memberikan imbalan, karena Kakek Cangkul ini tak memintanya, tak ada celengan ataupun tempat berbentuk kotak yang ia taruh disitu untuk keperluan minta imbalan.
Kakek Cangkul akan berpindah ke badan jalan yang rusak lainnya setelah memperbaiki yang lain. Begitu seterusnya ia lakukan; memperbaiki bagian badan jalan yang rusak agar lalulintas tak terhambat. Aku selalu melemparkan uang kertas sambil terus berkendara jika melewati Kakek Cangkul. Paling tidak lembaran uang limaribuan yang kulipat-lipat, tak jarang pula uang sepuluhribuan. Adapun para pengguna jalan lainnya, tak sedikit yang melempar pecahan koin limaratusan maupun seribuan jika melewati Kakek Cangkul yang terus bekerja tanpa memperdulikan para pengguna jalan yang lewat.
"Kakek itu adalah petugas PU (Pekerjaan Umum) yang tak dapat pensiunan," cetus seorang teman seperjalananku suatu kali.
Aku tak langsung paham yang diungkapkan temanku itu. Maksudnya Kakek Cangkul itu tak ubahnya petugas Dinas Pekerjaan Umum namun tak ada pensiunnya meski sudah tua, karena ia memang bukan petugas ataupun pegawai pemerintah yang memperoleh gaji dan dapat gaji pensiunan.
Jalan sudah bagus, mulus, lalu lintas dan perjalanan lancar, dan tak butuh kerja sukarela Kakek Cangkul. Entah dimana kini ia berada, mungkin cangkulnya beralih fungsi untuk menggarap lahan kebun atau sawah milik orang lain, atau.......Kakek Cangkul sudah pensiun, ya pensiun sebagai manusia, entahlah.......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H