Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pohon Jati Itu Tempat Sesaji

15 November 2012   07:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:19 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan beberapa teman sekolah selalu mempercepat langkah, terkadang berlari jika mulai mendekati pohon jati yang pokok batangnya lumayan besar, diameternya lebih besar dari drum aspal.

Pohon jati itu tumbuh di tepi jalan menuju SD dimana aku bersekolah. Tak ada jalan lainnya kecuali melewati jalan setapak tanah liat dengan semak dan pepohonan kelapa di kanan kiri jalan. Aku dan murid sekolah lainnya mesti 2 kali melewati pohon jati satu-satunya diantara banyak pepohonan lainnya itu; pergi dan pulang sekolah.

Aku tak pernah tahu kenapa cuma ada sebatang pohon jati di kampung kami. Kedua orangtuaku pun kutanya tak tahu, begitu juga beberapa tetangga kami. "Jangankan kita yang baru beberapa bulan tinggal disini, tetangga kita yang sudah bertahun-tahun jadi penduduk di kampung ini pun tak tahu perihal keberadaan pohon jati itu," ungkap ibuku.

Bangunan SD tempat aku bersekolah berada di luar kampung, lumayan jauh, hampir 2 kilometer, hanya ditempuh berjalan kaki. Pergi dan pulang sekolah biasanya kami bergerombol, atau berkelompok, hampir tak ada yang berani pergi atau pulang sekolah sendiri, apalagi melewati pohon jati itu. Menoleh saja kami gentar, apalagi berani berhenti dibawah pohon itu.
Pohon yang besar dan tinggi, ditambah daunnya lebat dan berada di rerimbunan semak serta pepohonan lain, di bawah dan sekitar pohon jati itu tampak gelap, terkesan angker.

Ayahku baru beberapa bulan ditugaskan oleh Pemkab (dulu di tahun 1970-an sebutannya Pemerintah Dati II) di kampung tempat tinggal kami itu, sebuah ibukota kecamatan di pelosok pulau kalimantan. Dari ibukota kabupaten ke kecamatan dimana ayahku bertugas hanya bisa ditempuh melalui laut menggunakan kapal selama hampir 20 jam.

Di kampung kami ini tak ada sepeda motor, tak ada listrik, sepeda cuma ada beberapa, itupun dimiliki oleh warga yang tergolong berada. Penerangan di malam hari kebanyakan warga menggunakan lampu teplok dan ublek, sedikit yang menggunakan lampu petromax yang kuingat sebutannya lampu strongking.
Serba minim fasilitas memang di kampung kami pada waktu itu di tahun 1970-an. Hiburan cuma mendengarkan radio, satu-satunya saat itu saluran radio yang bisa ditangkap adalah RRI Nusantara III Banjarmasin, itupun mesti memasang antena diluar rumah dengan meletakkannya di ujung bambu yang panjangnya bisa mencapai 6 meter. Dan perangkat radio pun merupakan barang mahal dan tergolong mewah, tak setiap warga memiliki.

Pagi itu tak seperti pagi-pagi sebelumnya ketika kami melewati pohon jati angker itu. Dari kejauhan sudah tampak beberapa orang dewasa berada di bawah pohon tersebut. Keberadaan orang-orang itu membuat aku dan teman-teman tak lagi takut melewatinya, malah berhenti disana. Ada 6 orang dewasa berada di bawah pohon jati, mereka masing-masing membawa nampan kecil terbuat dari rotan berisi bermacam makanan; ayam panggang, kue-kue, air kopi dalam gelas, dan bermacam bunga. Nampan-nampan kecil itu mereka letakkan di kaki pohon jati secara berjajar.
"Sedang apa disini, pak ?" tanyaku.
"Naruh sesaji, kami ada nazar keluarga," sahut salah seorang yang berbadan agak gemuk.
"Saya naruh sesaji agar anak saya yang kecil tak lagi menangis terus tengah malam," ujar seorang lainnya yang berambut ikal.
"Kenapa ditaruhnya disini, pak ?" tanya seorang temanku.
"Ini pohon angker, ada penunggunya, kalau tak diberi sesaji bisa mendatangkan tulah dan penyakit," jawab salah seorang lainnya diantara mereka.

Ternyata tujuan orang-orang itu meletakkan sesaji di bawah pohon tersebut berbeda-beda. Tapi intinya mereka semua takut terhadap pohon jati yang dianggap angker oleh warga kampung.
Pikiran anak sekecil aku, kelas 1 SD waktu itu, belum menjangkau maksud dan tujuan orang-orang dewasa itu. Selama ini alu cuma ikut-ikutan temanku berjalan cepat dan berlari jika melewati pohon jati itu.
"Aku dipesani ibuku agar jangan pernah berani berhenti di bawah jati itu," ungkap Nurdin, temanku.
"Iya, ibuku juga pesannya begitu, pohon jati itu angker, ada penunggunya yang tak kelihatan," sambut Halidah.
Aku cuma manggut-manggut mendengar penjelasan teman-temanku perihal pohon jati itu.

Cerita mengenai pohon jati yang jadi tempat sesaji itu aku sampaikan ke ibu, ia cuma diam menyimak. "Kamu ikut bagaimana teman-temanmu saja bareng ke sekolah. Nanti kalau sudah besar kamu akan tahu masalah itu," kata ibu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun