Karena berbagai alasan aku memutuskan pindah jurusan dari IPA ke jurusan IPS.
Aku sempat duduk belajar di jurusan IPA sekitar 3 bulan.
Alasanku pindah jurusan waktu SMA adalah; pertama, guru-guru yang mengajar di sekolah kami merupakan guru yang berasal dari luar seperti guru SMP, guru Tsanawiyah, bahkan beberapa diantaranya tak memiliki latar belakang pendidikan keguruan; PNS dari Dinas Kehutanan dan Pemkab, maklum SMA kami adalah swasta.
Kedua, buku-buku pelajaran yang tak lengkap, perpustakaan sekolah pun tak ada.
Ketiga, untuk jurusan IPA, tak memiliki laboratorium untuk praktikum.
Keempat, SMA kami ikut ujian akhir pada SMA Negeri yang berada di ibukota kabupaten, yang mana guru-guru di SMA Negeri itu tak bakal membantu murid-murid dari luar sekolahnya.
Daripada menanggung risiko nantinya bakal tidak lulus, aku memilih ke jurusan IPS. Menurutku untuk berbagai pelajaran di IPS tak serumit di IPA yang mesti dibuktikan dengan berbagai praktik.
Rupanya kepindahanku ke jurusan IPS ini diikuti oleh puluhan temanku. Alasan mereka kurang lebih sama.
Para murid di SMA kami merupakan murid-murid lulusan dari SMP Negeri di kota kami, sebuah kota kecamatan. Pada waktu itu belum ada berdiri SMA Negeri. Dengan alasan tak perlu jauh-jauh sekolah keluar daerah, kebanyakan yang lulus SMP melanjutkan ke SMA kami, hanya sebagian kecil yang melanjutkan keluar daerah.
Sejak masih di SMP aku sudah berteman dengan; sebut saja namanya Andi. Temanku ini juga melanjutkan ke SMA yang satu-satunya ada di kota kami. Dia tetap di jurusan IPA, sedangkan aku pindah ke IPS. Di SMA kami tetap masih berteman meski beda jurusan.
Si Andi ini sejak masih di SMP, selalu langganan juara kelas alias rangking pertama. Hingga lulus dari SMP pun ia meraih predikat juara meski mendapat rangking kedua dari 3 kelas yang lulus.
Adapun aku, prestasiku tergolong rata-rata. Meski pernah pula meraih rangking, seingatku cuma rangking ketiga.
Di SMA pun prestasiku juga tergolong biasa. Malahan waktu SMA aku jarang mengikuti pelajaran. Ini karena kebanyakan dari guru-guru yang mengajar kami sering menyuruh kami mencatat ketimbang menerangkan pelajaran. Menurutku membosankan cara menerima pelajaran seperti itu. Aku lebih banyak belajar di rumah atau di luaran. Pola belajarku selain membaca buku-buku pelajaran, juga buku-buku lainnya, bahkan bacaan yang tak ada hubungannya dengan sekolah seperti; brosur, koran, tabloid, novel, dan majalah, atau mengisi buku TTS (Teka Teki Silang). Kalau sudah ketemu bahan bacaan, aku jadi betah duduk berlama-lama.
Aku masih ingat bacaan favoritku waktu SMA antara lain; majalah Tempo, Panji Masyarakat, Intisari, Warnasari, Detektif & Romantika. Berbagai novel dari beberapa pengarang terkenal waktu itu juga aku lahap seperti; karangan Moetinggo Boesye, Abdullah Harahap, Freddy, S, Agatha Christie, Mira, W, dan NH Dini.
Aku juga tak menolak membaca buku-buku cerita bersetting silat bergambar. Bahkan bila tak mendapatkan bacaan bagus, cerita dongeng karangan HC Andersen juga kusabet.
Meski begitu aku merasa diriku bukan seorang kutu buku. Aku membaca semua itu dengan tak disertai beban apapun kecuali hanya sekedar hiburan dan memuaskan rasa ingin tahu.
Beberapa bulan menjelang ujian akhir, waktu itu namanya EBTANAS; Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, murid kelas 3 SMA kami diharuskan mengikuti les belajar tambahan. Waktu les diadakan setiap hari setelah pulang sekolah terkecuali minggu.
Teman-teman pun menjadi sibuk dan tersita waktu bermain dan istirahatnya. Ini sebuah konsekuensi jika ingin lulus EBTANAS.
Adapun aku, aku memutuskan tak ingin ikut les belajar tambahan. Bukan aku merasa sudah pintar dan siap menghadapi EBTANAS. Aku pikir tak ada gunanya ikut les belajar tambahan bila waktunya sudah sangat mepet. Pertimbanganku otak manusia itu ibarat sebuah celengan semar, yang jika dijejali benda melalui lubangnya yang kecil, bisa-bisa celengan yang terbuat dari tanah liat itu akan pecah.
Beberapa temanku menanyakan kenapa aku tak ikut les belajar tambahan. Aku jawab bahwa aku malas, apalagi mesti bayar dan menebus sejumlah buku. Apakah aku tak takut jika tak lulus. Pasti aku takut tidak lulus. Tapi aku punya cara lain untuk bisa lulus.
Dalam perkiraanku soal-soal EBTANAS nanti sebagian besar akan diambil dari pelajaran dari SMP, sedangkan pelajaran SMA hanya sebagian kecil. "Soal-soal ujian nanti pastilah berasal dari pelajaran yang sudah banyak kita lupakan," cetusku kepada beberapa temanku.
Mereka diantaranya ada yang setuju terhadap perkiraanku, namun banyak yang mencibir.