Beberapa pekan ini berita mengenai ISIS selalu muncul di berbagai media. Berita ISIS ini seolah berlomba tak mau kalah berlomba dengan berita Jilboob dan sidang MK.
Saking phobia dengan keberadaan ISIS berikut pendukung dan pengikutnya di berbagai negara termasuk Indonesia, sampai-sampai si ISIS ini terkena banned fatwa haram oleh sejumlah Ormas Keagamaan di Indonesia. Bahkan pihak keamanan dan pertahanan pun ikut tak msu kalah dalam menyikapi keberadaan simpatisan, pendukung dan pengikut ISIS di Indonesia. Apalagi dengan adanya video di situs Youtube yang beredar luas di linimasa yang mana memuat imbauan dan ajakan untuk berjihad bagi umat Islam Indonesia bersama ISIS.
Sejumlah tokoh pun memberikan pendapatnya tentang ISIS menurut pandangan masing-masing. Seorang pendapat tokoh yang menarik perhatian saya adalah, pendapat Imam Besar Mesjid Istiqlal Jakarta, Ali Musthafa Ya'qub. Pada kesempatan wawancara dengan Metro TV, ali Musthafa Ya'qub mengatakan ideologi ISIS ini mirip dengan Sekte Islam Mu'tazilah. Ia menyebut pemahaman Mu'tazilah terkait amar ma'ruf nahi munkar, berbeda dari pemahaman Islam Sunni. Menurutnya Mu'tazilah memahami amar ma'ruf nahi munkar dalam pelaksanaannya dengan kekerasan dan tak menolerir perbedaan.
Saya sangat tak mengerti pendapat Ali Musthafa Ya'qub tentang ideologi ISIS dengan pemahaman Mu'tazilah. Saya jadi ragu apakah Imam Besar Mesjid Istiqlal tersebuf benar-benar mengenal sejarah keberadaan Mu'tazilah, wallahu a'lam.
Jika bicara tentang Mu'tazilah, maka berarti juga ikut membicarakan keterkaitannya dengan beberapa Ilmuwan Islam yang telah turut andil dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia yang pengaruh dan manfaatnya masih bisa dirasakan hingga kini.
Berikut ini beberapa ilmuwan besar Islam yang punya kecenderungan pada paham Mu’tazilah.
Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (796-873 M) yang melakoni karir intelektualnya di masa Dinasti Abbasiyah, persisnya pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma’mun. Ingat, Di masa Khalifah al-Ma’mun, al-Mu’tashim, dan al-Watsiq, paham Mu’tazilah sedang berada dalam masa kejayaannya. Al-Kindi berhasil menulis 241 karya tentang logika, matematika, astronomi, kedokteran, psikologi, politik, optik, dan sebagainya. Bukunya tentang optik diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak memengaruhi Ilmuwan Roger Bacon.
Abu Bakar Muhammad Zakaria ar-Razi (863-925 M) yang pernah menjadi Direktur Rumah Sakit Ray dan Baghdad. Ia dikenal di Barat dengan nama Razhes berkat karya-karyanya dalam ilmu kedokteran. Bukunya, al-Hawi merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran Yunani, Syria, dan Arab, dan tersusun lebih dari 20 jilid.
Abu Nasr Muhammad al-Farabi (870-950 M) yang belajar kepada Abu Bisyr Matta ibn Yunus di Baghdad selama 20 tahun, kemudian pindah ke Aleppo dan tinggal di istana Saifuddaulah. Pada waktu itu istana Saifuddaulah merupakan tempat pertemuan para pakar ilmu pengetahuan dan filsafat.
Abu Ali Husein ibn Abdillah ibn Sina (980-1037 M) atau Aviciena yang punya karya besar berjudul al-Qanun fi at-Thibb, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Canon. Di masa Sultan Syamsuddaulah yang berkuasa di Hamadan (bagian barat Iran modern), Ibn Sina diangkat menjadi menteri. Ibn Sina merupakan orang Islam yang memiliki nama besar dalam bidang kedokteran.
Dunia Barat modern memberikan pengakuannya terhadap jasa dan sumbangsih para Ilmuwan yang berfaham Mu'tazilah itu. Jika para pengikut Islam (baca; Sunni) tak nengakui mereka sebagai bagian dari umat Islam dikarenakan pemahaman keagamaan mereka yang berbeda, maka sedikit sekali sumbangsih umat Islam terhadap kemajuan ilmu pengetahuan kepada umat manusia dewasa ini.