Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

E-KTP; Elek KTP = KTP Jelek

1 Maret 2014   01:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:21 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai hari ini saya belum memegang Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau E-KTP. Dan masih sangat banyak warga di lingkungan desa dimana aku tinggal, pun belum memegang E-KTP. Ketika ditanyakan ke Kepala Desa, jawabannya adalah mesin untuk pembuat E-KTP tersebut belum diterima dari Pemerintah Pusat. Padahal setahuku sudah sangat banyak warga yang mendapatkan E-KTP ini. "Kami semua sudah didata dan difoto," aku para warga yang belum mendapatkan E-KTP.

Permasalahan para warga tersebut berbeda denganku. Aku belum memperoleh E-KTP karena memang aku belum didata dan difoto oleh Instansi yang ditunjuk untuk keperluan itu. Aku sengaja belum mengajukan permintaan E-KTP dikarenakan KTP milikku yang kini kupegang belum invalid atau masih berlaku hingga tahun 2016. Aku akan mengurus permintaan E-KTP jika masa berlaku KTP yang kupegang kini sudah mau invalid. Bukan salahku (aku tak sudi disalahkan) kenapa KTP-ku dibikin dengan masa tenggang terlalu lama.

Yang membuatku jadi malas minta bikinkan E-KTP ada beberapa hal; ternyata KTP yang diklaim dapat mencegah pemegangnya untuk tidak memiliki KTP ganda, tidak terbukti benar. Saya punya sebutan baru untuk KTP Elektronik ini, yakni E-KTP bukan lagi singkatan dari Electronic KTP, tapi Elek KTP yang dalam bahasa Jawa artinya KTP Jelek.
Beberapa kenalan saya sudah membuktikan sendiri kejeleka dari Elek KTP ini. Seorang kenalan saya yang sering bolak balik dan punya tempat tinggal di Jakarta, meski sudah memegang Elek KTP daerah, tapi dia juga ditelpon oleh petugas kelurahan di Jakarta dimana ia bertempat tinggal agar mengambil Elek KTP dengan alamat domisili Jakarta. ini artinya data-data kependudukan terkait kenalan saya itu tidak terdeteksi secara benar dan nasional. Istilah saya untuk ini adalah data-data kependudukan tidak online secara nasional ke seluruh pelosok Indonesia.

Kemudian kenalan saya yang lain pernah memperlihatkan ke saya, dia memegang 2 Elek KTP dengan data-data yang kesemuanya sama terkecuali perbedaan diantara kedua Elek KTP itu terletak pada status pernikahan; menikah dan bujangan.

Elek KTP ini mengecewakan. Diberlakukan secara nasional namun dalam beberapa hal ternyata tidak. Contohnya seorang teman saya bercerita, ia tidak dapat membuat SIM di Polres Kabupaten lain karena pihak kepolisian mensyaratkan pemohon SIM mesti memegang Elek KTP yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kabupaten setempat dimana Polres berada.
Begitupun ketika seorang teman saya lainnya yang bermaksud membuka rekening bank diluar daerah, ia ditolak oleh pihak bank karena dia bukan penduduk daerah dimana bank itu berada. Lalu yang jadi pertanyaan saya juga mungkin anda; apa hebatnya Elek KTP ini jika fungsinya masih belum bisa memuaskan para pemegangnya.

Keinginan saya, mungkin juga anda, E-KTP ini dapat memudahkan kita untuk mengurus sesuatu sesuai fungsinya. Misalkan meski saya memegang E-KTP yang dikeluarkan oleh salah satu daerah kabupaten di Kalsel, tapi saya bisa menggunakannya di Jakarta; untuk mengurus dan mendapatkan SIM di Polda Metro Jaya, atau membuka rekening di BCA, Bank Mandiri, BNI, maupun bank-bank yang ada di Jakarta.
Agar si Ucok yang pegang E-KTP Sumatera Utara bisa ikut mencoblos Caleg atau Parpol peserta Pemilu di Papua, sehingga si Ucok ini tak perlu balik kampung hanya untuk keperluan mencoblos, atau sebaliknya orang-orang Papua yang sedang bekerja di Sumatera tak perlu balik kampung pula hanya untuk keperluan mencoblos. Kalau E-KTP belum bisa digunakan sesuai fungsinya, maka program pemerintah ini sudah bisa dikatakan gagal, dan sebaiknya dikembalikan seperti semula; masalah kependudukan dan yang terkait diserahkan ke masing-masing daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun