Menyaksikan gaya penampilan kaum muda yang meniru para selebritis sekarang, tak jarang bikin geleng-geleng kepala; antara heran dan tak suka campur aduk.
Seingat saya dulu ketika saya masih anak-anak di tahun 1970-an, yang namanya seseorang mencat rambutnya menjadi berwarna (kebanyakan pirang), akan mengundang banyak mata yang menatapnya aneh.
Di kampung saya dulu, pernah ada seorang teman sekelas saya di SD yang rambutnya agak kemerahan, selalu menjadi bahan ejekan teman-temannya. Teman yang berambut agak kemerahan itu sampai menangis karena dijadikan objek ejekan. Dia dikatakan 'anak bule' oleh teman-teman.
Sebutan 'anak bule' ini sangat hina sekali di kampung kami waktu itu, karena konotasinya anak yang dilahirkan diluar nikah hasil perselingkungan, kasarnya 'anak bule' itu adalah 'anak jadah' atau 'anak haram'.
Kenapa mesti sebutan 'anak bule', bukan anak yang lain ?
Ini karena di benak para orangtua kami di kampung adalah, orang bule (terutama Belanda, penjajah) itu tak punya moral asal kawin tanpa nikah untuk menjadikan keturunan. Stigma kebencian mereka terhadap bule (Belanda) sangat lekat menancap di pikiran, sehingga tak ada yang lebih pantas sebutan terhadap mereka yang serupa atau meniru-niru bangsa penjajah itu selain 'anak bule'.
Bahkan tak cuma sampai disitu. Mendiang Datuk saya, orangtua dari nenek saya mengatakan; barang makanan instant dan kalengan seperti; mie instant, ikan kaleng dan canned beef (daging sapi kalengan) sebagai makanan orang kafir.
Menurut Mendiang Datuk saya itu, mengkomsumsi makanan yang biasa dimakan oleh orang bule itu, haram hukumnya.
Sangat melekat sekali stigma kafir terhadap orang bule di mata Mendiang Datuk saya itu.
Setelah lebih dari 3 dekade, stigma tersebut justru berbalik arah. Segala sesuatu yang berbau bule (baca Barat), justru semakin diminati oleh para anak negeri hingga ke pelosok kampung sekalipun. Seseorang bahkan belum dikatakan modern bila tak mengikuti dan meniru pola hidup orang bule.
Bukan main hebatnya, hanya dalam tempo 3 dekade. Kalau boleh mengutip teks proklamasi; dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Hampir 2 dekade lalu Datuk saya meninggal dalam usia yang melebihi 12 dekade. Andai saja beliau masih hidup, pasti beliau akan bersumpah serapah menyaksikan banyak 'anak bule' yang tak terlahir di benua biru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H