Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Nature

Air Sungai Kami Tak Lagi Jernih

18 April 2012   08:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Saat itu pada tahun 1985 aku duduk di kelas 3 SMA di Pagatan Kecamatan Kusan Hilir yang termasuk wilayah Kabupaten Kotabaru Kalsel. Pada liburan semester ganjil, aku memutuskan menengok ayahku yang bertugas sebagai seorang PNS di Sungai Danau Kecamatan Satui.

Perjalanan dari Pagatan ke Sungai Danau kala itu yang berjarak sekitar 80 kilometer, hanya bisa ditempuh dengan mobil double gardan atau istilahnya four wheel drive (4x4); jenis Toyota Hardtop, Land Rover, Willy's, ataupun Gaz produk Rusia. Mobil biasa yang bukan double gardan jangan harap bisa tembus sampai ke tujuan dalam waktu singkat, tak jarang baru tiba di tujuan seharian ataupun sehari semalam. Ini karena kondisi medan jalan yang tak ubahnya kubangan kerbau; tanah liat berlumpur dan licin jika sehabis hujan.

Karena tak menemukan mobil yang bisa kutumpangi ke Sungai Danau, aku putuskan untuk naik ojek sepeda motor, biayanya sebesar Rp 25 ribu (harga emas saat itu Rp 18 ribu per gram).
Dengan naik sepeda motor, kami agak mudah jika terjebak lumpur, tinggal turun, dorong. Atau mudah pula memilih jalur jalan yang bisa dilalui.
Itu pun kami memakan waktu hampir setengah hari baru tiba di Sungai Danau.

Di era 1980-an, Sungai Danau yang dari kota Banjarmasin berjarak sekitar 160-an kilometer itu, merupakan pusat pemerintahan Kecamatan Satui, dan menjadi pusat kegiatan industri di bidang perkayuan. Berpuluh-puluh kilang penggergajian kayu atau sawmill berdiri. Belum ada aktivitas penambangan batubara kala itu.

Sungai Danau, atau tertulis di peta Kalsel sebagai Sei Danau, dibelah oleh sungai yang lebarnya sekitar lebih 20 meter bernama sungai Satui, sesuai dengan nama kecamatan.
Sungai yang cukup besar ini menjadi sangat penting bagi warga setempat. Selain sebagai sarana transportasi dengan menggunakan perahu motor menghubungkan beberapa desa, juga sarana bagi pengangkutan kayu-kayu bulat yang ditarik lokasi penebangan menuju tempat pengolahan.
Sungai ini juga menjadi penting sebagai sumber air bersih; untuk mandi, minum, dan mencuci bagi warga.

Seingatku pada kala itu sungai Satui sangat jernih jika beberapa hari tak turun hujan. Dari atas jembatan kayu Ulin yang membentang diatas sungai tersebut, aku bisa menyaksikan berbagai jenis ikan air tawar yang hilir mudik berenang di sungai yang airnya jernih dan bening itu.

Selepas lulus SMA tahun 1986, aku memutuskan menetap ikut ayah di Sungai Danau, sedangkan ibu beberapa bulan kemudian ikut boyongan bergabung.
Jadilah aku mulai saat itu menjadi bagian dari warga Sungai Danau, yang kemudian untuk memudahkan dan mempersingkat penyebutannya menjadi Sudan.

Beberapa tahun aku masih menyaksikan bening dan jernihnya air sungai Satui.
Kegiatan penebangan kayu di hutan yang terjadi setiap saat, lama kelamaan berdampak terhadap kondisi sungai. Sungai Danau yang dulunya tak pernah kebanjiran, akhirnya pun digenangi air. Hutan di hulu sungai Satui sudah semakin berkurang, sehingga penyerapan terhadap air hujan pun menjadi berkurang pula.

Keadaan dan kondisi air sungai yang jernih dan bening itu pun berubah secara drastis setelah kayu di hutan semakin menipis, ditambah dengan adanya perusahaan penambangan batubara yang mulai beroperasi di penghujung tahun 1980-an.
PT. Arutmin Indonesia, perusahaan kontraktor dari PT. Bukit Asam berikut beberapa perusahaan sub kontraktornya mulai menggerus dan menggali perut bumi wilayah Kecamatan Satui.
Sejak adanya aktivitas penambangan batubara oleh PT. Arutmin Indonesia itu, sungai Satui tak lagi bening dan jernih, berubah menjadi berwarna kecoklatan seperti air the yang diseduh dengan susu. Banjir pun menjadi langganan hampir tiap tahun mendatangi beberapa desa di bantaran sungai Satui, termasuk Sungai Danau.

Keadaan makin bertambah parah menjelang tahun 2000, pergantian milenium. Banyak pengusaha yang tadinya berusaha di bidang perkayuan banting setir mengadu nasib menjadi penambang.
Pertambangan tanpa ijin (PETI) pun marak di wilayah Kecamatan Satui hingga kini. Para pelaku PETI ini berlomba melakukan aktivitas mengeruk 'emas hitam', tak perduli apakah lokasinya di dekat perkampungan warga sekalipun.
Sungai Danau jika pernah menonton film Wertern yang jagoannya adalah para Cowboy, layaknya seperti kota pertambangan di wilayah Amerika Utara. Para warga berbaur dengan para penambang dan preman, mengais rejeki dari bahan mineral yang bernama BATUBARA, yang sering kepanjangannya diplesetkan menjadi BArang TUhan BAgi RAta.
Disinilah banyak ditemukan para pengusaha SPANYOL alias penambang SePAro NYOLong, atau seperti yang diistilahkan oleh Menhut RI, Zulkifli Hasan; TALIBAN, TAmbang LIar ala BANjar.
Welcome to Sudan, the Taliban Town.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun