Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pengganti Biaya Transport; Politik Uangkah Ini?

5 Februari 2014   09:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_320681" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] "Kalau saya ada saja di rumah ini sedikitnya mesti merogoh saku 2 jutaan setiap hari," ungkap seorang Caleg dari salah satu Parpol besar di negeri ini. Usai shalat maghrib saya sengaja bertamu ke kediaman Caleg tersebut, yang juga merupakan salah seorang dari unsur pimpinan DPRD di kabupaten. Sebelum saya datang sudah ada beberapa orang tamu yang diterima tuan rumah. Kedatangan saya menemui Caleg tersebut untuk konfirmasi terkait penyusunan RTRW (Rancangan Tata Ruang Wilayah) Kabupaten, karena ia berkompeten memberikan keterangan sebagai salah seorang Wakil Ketua DPRD. Dikarenakan si Caleg sedang menerima tamu, saya pun bergabung dengan para tamu yang datang terdahulu. Praktis saya ikut mendengarkan percakapan antara tuan rumah dengan para tamunya. Para tamu itu ternyata para warga calon pemilih pada Pemilu tanggal 9 April 2014 nanti. Kedatangan mereka menemui si Caleg adalah menyatakan diri mereka akan memilih si Caleg pada Pemilu nanti. Dengan demikian mereka pun meminta berbagai alat peraga atau atribut si Caleg seperti; stiker, kalender, kaos, baliho dan spanduk yang bergambar foto si Caleg. Tuan rumah pun tanpa ragu memberikan apa yang diminta oleh para tamunya. Dan si Caleg merogoh lembaran 50 ribuan tang rupanya sudah ia persiapkan. Masing-masing tamu pun mendapatkan 100 ribu ketika berpamitan pulang. Para tamu terdahulu baru beranjak dari tempat duduknya mau meninggalkan tempat, beberapa tamu lain berdatangan. Tujuan para tamu baru ini sama seperti yang terdahulu, dan mereka pun pulang tidak dengan tangan hampa; 100 ribu dari tuan rumah untuk prngganti biaya transport. Selama saya menunggu kesempatan untuk bisa melakukan konfirmasi ke si Caleg, tak kurang dari 20-an tamu yang datang dan pergi. "Mereka datang sendiri kesini. Pintu pagar dan rumah tak pernah saya tutup untuk para tamu," ungkap si Cakeg. Mengetahui dan melihat sendiri si Caleg bagi-bagi duit ke para tamunya yang nota bene adalah para calon pemilih, saya pun menyinggung dengan praktik politik uang. Si Caleg tidak menampik perbuatannya tersebut merupakan bentuk dari politik uang (Money Politic). "Kamu lihat, mereka datang sendiri. Jelas tak mungkin saya membiarkan mereka pulang begitu saja dengan perasaan kecewa setelah menyatakan akan memilih saya di Pemilu nanti," ujar si Caleg tanpa ekspresi. Bila pada beberapa Pemilu terdahulu kebanyakan tim sukses para Caleg yang jemput bola mendatangi para warga calon pemilih, kini berubah terbalik; para calon pemilih yang datang langsung bertemu si Caleg. Kebanyakan para warga kecewa terhadap anggota tim sukses yang mereka anggap mrngambil lebih banyak keuntungan dari Caleg yang ditangani daripada warga yang menjadi sasaran pengumpul suara. "Pemberian dari Caleg kebanyakan sudah disunat oleh tim sukses sebelum sampai ke calon pemilih. Dengan datang langsung bertemu Caleg, maka kita menjadi tahu dan kenal sosok si Caleg, dan menerima langsung pemberian darinya tanpa perantara," alasan kebanyakan para warga. Ini hanya salah satu gambaran nyata terkait pra Pemilu yang terjadi antara Caleg dengan para calon pemilih. Jika praktik seperti yang saya ungkap disini bisa dikategorikan sebagai praktik politik uang, lalu bagaimana yang tidak, dan tak kalah pentingnya adalah menutup semua akses peluang untuk praktik seperti itu, ini merupakan pekerjaan rumah ysng sangat sulit saya kira dilakukan oleh para pakar politik di negeri yang masih sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan dan perasaan sungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun