Ada perasaan jengkel ketika menonton tsyangan di tipi terkait demo buruh di Kabupaten Serang yang menuntut kenaikan Upah Minimum Propinsi (UMP) dari Rp 2,4 juta menjadi Rp 2,6 juta.
Jengkel karena mengingat UMP Kalimantan Selatan di wilayah tempat tinggalku, UMP cuma Rp 1.337.500. Padahal harga berbagai kebutuhan di daerah saya jauh lebih mahal jika dibandingkan jika hidup di Propinsi Banten.
Contoh saja, harga seliter minyak tanah di daerah saya paling murah dijual di eceran Rp 8.500, lebih mahal daripada harga seliter premium (bensin) yang dijual seharga Rp 8.000.
Harga-harga barang kebutuhan lainnya, jangan ditanya, dijual hampir dua kali lipat dari yang dijual di pulau jawa. Sewa kontrak rumah juga mahal, biaya transportasi mahal, tapi UMP justru kecil. Saya heran indikator apa yang dijadikan untuk menentukan jumlah besaran UMP.
Buruh makin genit.
Saya katakan saja perilaku para buruh kini terutama di pulau jawa, mereka genit, sedikit-sedikit demo, unjuk rasa, sementaratak sedikit yang pasrah menerima saja UMP yang jauh lebih kecil. Padahal menurut saya, selain para profesional (white collar), bukankah buruh juga, termasuk juga para PNS. Makanya para guru pun ikut-ikutan unjuk rasa. Mereka sudah melupakan predikat sebagai pahlawan tanpa jasa.
Saya hanya bisa berharap jangan sampai para buruh di tiap daerah ikut-ikutan unjuk rasa menuntut kenaikan UMP dengan dalih agar dapat hidup layak, bisa punya tabungan tiap bulan untuk masa depan. Dapat kita bayangkan apa yang terjadi jika para buruh di seluruh Indonesia serentak unjuk rasa dalam waktu bersamaan, ada yang anarkis pula misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H